KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA AGAR SELALU DITINGKATKAN

KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA AGAR SELALU DITINGKATKAN

 

 

Perlu diusahakan Dicapainya ‘Cendekiawan Plus’

Presiden Soeharto mengimbau para ulama, cendekiawan, pemikir dan pendidik untuk tidak henti-hentinya meningkatkan kualitas pendidikan agama, agar anak-anak kita benar-benar menjadi insan-insan berakhlak mulia sebagaimana menjadi inti risalah Nabi Muhammad SAW.

Himbauan ini disampaikan Presiden dalam sambutannya pada upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara Jakarta Kamis malam.

Uraian Maulid pada kesempatan itu disampaikan oleh Menteri Negara KLH, Prof. Dr. H. Emil Salim, dan sambutan disampaikan pula oleh Menteri Agama H. Munawir Sjadzali.

Hadir pada acara itu di antaranya Ibu Tien Soeharto, Wakil Presiden beserta Isteri, para pejabat dan ketua-ketua lembaga/lembaga tinggi negara, para wakil negara sahabat dan ulama serta tokoh Islam.

Sejalan dengan himbauan Presiden itu, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali menekankan, bangsa Indonesia, khususnya para pemimpinnya, baik di pusat maupun daerah, perlu mengembangkan dan memupuk watak-watak luhur, diantaranya tabah, tahan mental untuk tidak menyalahgunakan kesempatan, dan jujur.

Dalam kaitan antara pemimpin dan agama, secara tegas Emil Salim dalam uraian Maulid malam itu mengatakan, yang diperlukan sekarang adalah kemampuan memimpin agarna Islam mernasukkan etika pembangunan dalam arus perubahan.

“Untuk ini kualitas pemahaman agama Islam perlu ditingkatkan. Terutama di kalangan cendekiawan yang memperoleh ilmu pengetahuan yang bersumber pada falsafah Barat atau kurang memahami falsafat Islam. Sehingga perlu diusahakan tercapainya “cendekiawan plus”, kata Emil Salim.

Pendidikan Perlu Sumbangan Kreatif

Presiden soeharto mengingatkan, salah satu segi dari tugas besar dalam pembangunan adalah pendidikan. “Karena itu segenap lapisan dan golongan masyarakat perlu memberikan sumbangan kreatif dalam kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya,” tandasnya.

Dijelaskan, bagi umat Islam hal ini bukanlah hal bam. Sebab justru Nabi kita sendiri menegaskan perlunya belajar bagi setiap orang laki-laki maupun perempuan, mulai dari buaian sampai ke liang kubur.

Dalam hal pendidikan ini, Presiden mengingatkan pula, kesadaran dan kepekaan sosial harus ditanamkan se-dini mungkin kepada anak-anak, remaja­remaja dan pemuda-pemudi kita.

Hal ini makin penting, menurut Presiden sebab mau tidak mau, di masa mendatang persaingan akan lebih mewamai kehidupan masyarakat kita.

“Tanpa kesadaran dan kepekaan sosial, persaingan dapat melunturkan semangat kekeluargaan yang merupakan salah satu aspek penting dan cita-cita kemasyarakatan bangsa kita,” kata Presiden.

Agama Kaya Nilai-Nilai

Presiden menunjukkan betapa kayanya agama dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bertautan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi. Sebab agama di samping mengajarkan akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga terhadap sesama manusia dan lingkungan hidup.

Menurut Presiden, kalau risalah Nabi merupakan penyempumaan akhlak manusia, hal itu berarti nilai keberagamaan sangat ditentukan oleh kualitas akhlak terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungan alam.

“Tantangan ini tentu saja berlaku bagi semua umat beragama di negeri kita, sebab hal ini menyangkut masa depan kita bersama, masa depan kita semua,” kata Presiden.

Oleh Presiden dikatakan, hila hanya berpikir singkat, rasanya kita terlalu lemah menghadapi berbagai tantangan yang datang di luar perkiraan dan tidak jarang memberi tekanan-tekanan berat terhadap perjalanan pembangunan.

Namun dengan belajar dari kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW, Presiden yakin akan didapat kekuatan batin agar tidak kehilangan harapan.

“Sebagai umat yang beriman kita yakin bahwa cita-cita luhur yang diridhoi Tuhan pasti akan terwujud,” kata Presiden meyakinkan. “Bagi umat beriman, keyakinan inilah yang merupakan modal utama untuk berjuang dan dengan keyakinan itu kita rela berkorban dan menderita,” kata Presiden lagi.

Berkerja dan Belajar

Ajaran agama mengatakan, kehidupan hari esok yang lebih baik dari kehidupan hari ini dapat diwujudkan melalui peljuangan. “memang itulah yang kita laksanakan melalui pembangunan nasional,” ujar Presiden.

Pembangunan itu dilaksanakan terutama untuk anak cucu atau generasi yang akan datang.

“Untuk itu kita rela menahan diri dari tindakan-tindakan, yang karena terlalu cepat ingin menikmati kesenangan sekarangjustru lalu mengorbankan masa depan”, kata Presiden dan kalau masa depan dikorbankan, “berarti kita mengorbankan nasib anak cucu kita demi kesenangan kita sendiri.”

Untuk dapat mewariskan kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang, Presiden mengingatkan pentingnya kerja keras, dengan mengolah segala sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya insani maupun sumber daya alami.

Di samping itu Kepala Negara juga mengingatkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang cerdas dan terampil, yang peka terhadap kepentingan masyarakat dan sadar akan masa depan bangsanya, pendidikan harus diarahkan.

Persatuan

Pada akhir sambutannya Presiden juga menekankan saatnya semua golongan di Indonesia makin meningkatkan lagi persatuan dalam menghadapi tantangan-tantangan. Lebih-lebih setelah dimantapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Untuk itu Kepala Negara meminta agar persamaan lebih ditonjolkan ketimbang perbedaan diantara berbagai golongan yang ada. “Perbedaan tentu ada dan akan terus ada, akan tetapi hal itu bukan menjadi alasan untuk berpecah dan berpisah”, kata Presiden dan bagi umat Islam, hal demikian disebutkan sebagai bukan hal yang asing.

Karena Nabi sendiri telah memberi contoh untuk menggalang semua golongan yang ada di Madinah ketika beliau mulai membangun masyarakat setelah hijrah.

“Hal itu mengajarkan kepada kita bahwa dalam suatu masyarakat majemuk seperti halnya masyarakat kita, prinsip-prinsip kebersamaan harus kita tangkap”, kata Presiden.

“Setiap kelompok masyarakat, betapa pun kecilnya, harus diperlukan secara adil dan tidak merasa ditinggalkan dan diremehkan”, tambahnya.

Watak Luhur

Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, MA yang juga memberikan sambutan pada peringatan itu menekankan agar Bangsa Indonesia, khususnya para pemimpinnya di semua tingkatan, memupuk dan mengembangkan watak-watak luhur, sebagaimana kisah dalam hadist, telah dilakukan oleh tiga orang yang terkurung dalam suatu gua yang tertutup oleh longsoran batu besar.

Episode pengalaman ketiga orang itu, menurut sebuah hadits diriwayatkan oleh Buchari dan Muslim, yang bersumber dari Abdullah Bin Umar Bin Al Khattab RA. Nabi Besar Muhammad SAW pernah berceritera mengenai hal itu. Ketiganya berhasil keluar dari gua itu karena masing-­masing memperlihatkan sikap mental dan watak terpuji.

Oleh menteri disebutkan, sikap mental dan watak terpuji itu adalah ketabahan dan kesediaan menderita serta berkurban untuk kepentingan masyarakat, kemampuan untuk menguasai diri dan kekuatan mental untuk tidak menyalahgunakan kesempatan atau peluang serta kejujuran dan semangat untuk berbuat kebajikan bagi orang lain.

“Kalau saja kita berhasil memasyarakatkan dan membudayakan sikap mental dan moral terpuji itu, insya Allah kita akan lebih dapat membina kemantapan ketahanan nasional”, kata Menteri.

Uraian Maulid

Uraian Maulid Nabi Muhammad SAW dalam upacara itu disampaikan oleh Prof. Dr. H. Emil Salim, Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, berjudul “Membangun manusia seutuhnya”.

Emil Salim mengambil kesimpulan, ikhtiar umat Islam di Indonesia akan memberikan dampak besar dan berarti pada jutaan umat Islam di seluruh dunia, karena umat Islam yang terbesar di dunia terdapat di Indonesia.

Kesimpulan yang juga sekaligus sebagai ajakan itu dilontarkannya setelah menyatakan bahwa telah tiba waktunya mengusahakan kebangkitan kembali (renaissance) Islam abad ke 15 Hijrah, menjelang abad ke-21 Masehi ini.

Profesor ini mengawali uraiannya dengan menjelaskan sejarah perkembangan Islam dan maju mundumya Islam sejak awal serta bagaimana Islam mendorong kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, kemasyarakatan dan kebudayaan di lingkungan negara yang mayoritas pemeluk Islam.

Dorongan itu ada, karena perkembangan itu tidak terlepas dari pemahaman hakikat Islam yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Etika Pembangunan

Untuk bisa bangkit kembali bagaimana kebangkitan Islam dalam abad ke- 15 itu, Emil Salim menyodorkan suatu Etika Pembangunan sebagai panduan perilaku orang dalam pembangunan nasional yang didasarkan pada prinsip­-prinsip moral dan memuat lima pokok-pokok.

Ke lima pokok-pokok itu olehnya diperinci sebagai berikut :

Satu, pembangunan itu merupakan ibadah kepada Allah SWT, sehingga perkembangan sikap, penglihatan dan perilaku pembangunan harus bersumber pada pengabdian diri kepada Allah SWT.

Dua, pembangunan memuat kegiatan yang mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, kemajuan material dan kemajuan spiritual secara selaras, serasi dan seimbang.

Tiga, dalam melaksanakan pembangunan, manusia memiliki tanggung jawab selaku Khalifah di muka bumi, sehingga langkah perbuatannya perlu memperhitungkan dampak pengaruhnya pada kehidupan isi alam semesta.

Empat, pembangunan di tujukan pada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang memuat ciri-ciri keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan Maha Pencipta, antara manusia dengan masyarakat dan antara manusia dengan lingkungan alam.

Lima, pembangunan adalah pembebasan diri manusia dari berbagai hambatan buatan manusia, seperti kemiskinan, ketidaktahuan, ketidakadilan, kekufuran dan ketimpangan sosial.

Penjabaran dan pengisian Etika Pembangunan itu, menurut Emil Salim menjadi tugas pokok para ulama dan cendekiawan beragama, yang perlu mengaktualkan agama itu ke dalam proses pembangunan, sebagai pemberi karakter Pembangunan Nasional.

“Yang diperlukan sekarang adalah kemampuan pemimpin agama Islam memasukkan Etika Pembangunan itu ke dalam arus perubahan,” kata Emil Salim.

Tampil sebagai pembaca ayat suci Al-Qur’an masing-masing Hafizh Al Abbas, Qori terbaik II Seleksi Nasional dari Lampung yang membaca Surah Al-Ahzab ayat 38-47 dan H. RachmawatiA. Rani, Qoriah tingkat intemasional dari Kalbar yang membacakan Surah An Nisa ayat 58-62. (RA)

 

 

Jakarta, Pelita

Sumber : PELITA (15/11/1986)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 587-592.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.