Menjelang Pemilu 1987

Menjelang Pemilu 1987[1]

Menjelang Pemilu 1987, lewat pertengahan 1986, ramai lagi terdengar orang meminta supaya  saya bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden. Dari berbagai tempat dan daerah, dinyatakan kebulatan tekad yang isinya seperti tadi. Setiap saya mendengar peryataan-pernyataan itu, terus terang saja, saya merasa miris (ngeri), berdiri bulu roma saya. Miris bukan takut menghadapi tantangan, tidak! Tetapi, miris karena mengetahui tugas yang berat yang ada di depan kita itu.

Perasaan ini saya terangkan sewaktu HUT ke-22 Golkar di Balai Sidang di bulan Oktober 1986. Waktu itu secara resmi Golkar, menyatakan kebulatan tekad, mencalonkan kembali saya untuk menjadi Presiden di masa bakti 1988-1993.

Dalam kesempatan itu saya kemukakan bahwa penentuan haluan negara di masa depan dan pengangkatan Presiden adalah wewenang Sidang Umum MPR tahun 1988 hasil Pemilihan Umum tahun 1987. Sepanjang pernyataan mengenai diri saya, yaitu mencalonkan kembali saya untuk menjadi Presiden, saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Sebagai hamba Tuhan pencipta alam semesta ini, tentu saya harus memanjatkan rasa syukur atas rahmat yang diberikan kepada saya. Tetapi sebagai manusia biasa, Saudara-saudara pun harus mengetahuinya, setiap saya mendengar pernyataan-pernyataan itu, terus terang, saya merasa miris karena mengetahui tugas yang begitu berat.

Begitu pun saya merasa miris karena mengetahui pula harapan yang demikian besar daripada rakyat Indonesia mengenai suksesnya pembangunan, sedangkan yang mengetahui keadaan sebenarnya diri saya adalah saya sendiri. Saya tidak jauh berbeda dengan warganegara lainnya. Saya merasa tidak ada kelebihan sedikit pun dari warganegara lainnya. Bahkan yang saya rasakan adalah kekurangan-kekurangan yang sedemikian banyak pada diri saya.

Kepercayaan yang sedang rakyat berikan kepada saya sekarang saya lakukan hanya dengan mengerahkan segala tenaga dan pikiran. Dan hasilnya juga tidak lebih dari apa yang disaksikan oleh rakyat itu sendiri.

Sekarang (1986) kita dihadapkan pada satu tantangan yang berat. Terus terang saja, setiap saat kami berdua —berdua dengan istri saya, pendamping saya— timbul pertanyaan, apakah saya masih mampu melaksanakan tugas itu?

Saya percaya akan kebijaksanaan dan kewaspadaan rakyat dalam hal memilih wakil-wakilnya. Dan wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga tinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat tentu akan waspada terhadap diri saya dan juga akan benar-benar memperhatikan kepentingan negara dan bangsa.

Dan jika kenyataan nanti menunjukkan bahwa saya dipilih kembali jadi Presiden RI, hanya satu yang saya minta:

Bilamana dalam melaksanakan tugas nanti, selama lima tahun itu, di tengah jalan saya dipandang tidak mampu, supaya segera saya diganti. Dan tidak perlu secara ribut-ribut.

MPR sebagai pemegang kedaulatan mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugas memilih Presiden itu secara konstitusional. Mengenai kedudukan kepresidenan itu sendiri saya sudah berulang kali menegaskan bahwa saya menjamin tak akan ada presiden seumur hidup. Menurut konstitusi kita, presiden dipilih untuk melaksanakan GBHN, dan GBHN berlaku untuk lima tahun.

Mekanisme kepemimpinan nasional yang berdasarkan konstitusi ini perlu terus dibudayakan. Rakyat harus diberi kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya. Rakyat yang menentukan kehendaknya untuk selama lima tahun, setelah itu memilih salah satu dari warganegaranya untuk melaksanakan GBHN yang dikontrol oleh DPR dan hanya bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tak bisa diganggu gugat oleh DPR, begitu sebaliknya. Bila ada konflik, MPR yang akan mengatasinya, melalui sidang istimewanya.

Kasus konflik itu pernah terjadi pada tahun 1967, ketika terjadi konflik antara wakil rakyat dan Bung Karno. Waktu itu terus terang ada kekuatan partai politik yang meminta ABRI segera mengambil oper, atau kasarnya dengan perebutan kekuasaan. Tetapi, alhamdulillah, saya tetap berpegang teguh pada pendirian bahwa kita jangan meninggalkan lembaran hitam dengan perebutan kekuasaan, sehingga kita bisa menunjukkan kepada rakyat, bahwa pada waktu perubahan pemerintahan itu bukan terjadi perebutan kekuasaan, melainkan karena pertanggungjawaban, Presiden sebagai Mandataris MPRS dicabut mandatnya dan MPRS mengambil langkah-langkah lain.

Mekanisme ini yang harus dibudayakan sehingga tak perlu khawatir bahwasanya akan ada Presiden seumur hidup, atau Presiden yang sedang dalam jabatannya tidak bisa diganggu gugat, walaupun membuat kesalahan.

Waktu menyaksikan orang-orang menyampaikan kebulatan tekad, saya yakin itu bukan sesuatu yang dibuat-buat. Itu menyangkut usaha menegakkan mekanisme kepemimpinan nasional berdasarkan UUD ’45. Kejadian itu tidak dengan paksaan dari pejabat atau dari pimpinan sosial politik.

Sejak semula saya mengusahakan supaya mekanisme kepemimpinan nasional itu tegak, sesuai dengan dasar-dasar negara kita. Janganlah kita sampai keliru dalam penerapan pengertian kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang kita anut harus benar-benar menggambarkan bahwa rakyat itu benar-benar berdaulat. Tetapi dalam pelaksanaannya janganlah kita keliru.

Dalam menentukan haluan negara, maka rakyat mempercayakan pada wakil-wakil yang nanti akan duduk dalam MPR. Untuk itu diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Anggota-anggota DPR ditambah dengan wakil-wakil daerah dan golongan lalu duduk dalam MPR. MPR itulah yang memegang dan melaksanakan kedaulatan rakyat itu.

Dalam pemilihan umum itu tidak hanya dipilih wakil-wakil rakyat, tetapi juga harus diberikan bekal kepada mereka yang akan dipilih itu berupa apa yang harus diperjuangkan oleh yang duduk di DPR dan MPR. Dus, pernyataan-pernyataan itu, seperti kebulatan tekad itu, merupakan hak rakyat untuk membekali calon-calon yang akan mereka pilih. Kali ini, menjelang pemilu 1987 dan Sidang Umum MPR 1988, mereka meminta kepada saya supaya saya bersedia dicalonkan dan diangkat kembali sebagai Presiden/Mandataris. Mereka meminta kepada MPR supaya memilih dan mengangkat kembali Pak Harto sebagai Presiden/Mandataris MPR. Pernyataan begitu adalah hak rakyat. Tetapi yang mengangkat seseorang sebagai Presiden RI/Mandataris itu adalah MPR. Bukan yang lain.

Dengan semua ini tidak berarti bahwa mereka mendahului keputusan MPR. Mereka cuma memberi bekal. MPR nanti menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Setelah itu memilih salah seorang warganegara RI ini untuk menjadi Presiden/ Mandataris yang akan melaksanakan GBHN itu tadi. Jadi, yang memilih adalah MPR, bukan orang-orang yang mencalonkan saya. Bila saya mencalonkan diri, itu tidak sesuai dengan konstitusi. Pencalonan diri masing-masing individu tidak sesuai dengan konstitusi kita.

Partai-partai dan Golongan Karya mengajukan calonnya masing­masing. Jadi, pada dasarnya, bisa terjadi Golongan Karya mencalonkan si A, PPP mengajukan si B, PDI mencalonkan si C. Bahwa sekarang menjelang pemilu 1987 semua itu mengajukan satu calon, itu adalah kebetulan.

Semua meminta supaya saya bersedia dicalonkan lagi untuk jadi Presiden/Mandataris dan meminta MPR nanti untuk memilih Pak Harto lagi. Tetapi kalau saya tidak bersedia, tentunya tidak jadi, dan MPR pasti mampu memilih calon yang lain.

Nah, inilah baiknya, sebelum sidang MPR berjalan, rakyat sudah menunjukkan keinginannya, menitipkan pesannya, supaya kita semua sudah bisa tahu. Ini adalah dalam rangka membudayakan UUD ’45. Jadi, semuanya itu bukan bermain sandiwara, melainkan kesadaran politik rakyat. Saya menilainya, itu adalah hasil pembangunan politik sejak lahirnya Orde Baru sampai sekarang.

Siapa pun yang akan ditunjuk, itu tidak usah lagi menjadi masalah. Rupanya ini yang masih ditakutkan orang-orang di luar negeri sampai sekarang (permulaan 1987). Mereka seperti was-was, apakah setelah saya nanti, pada waktunya, mampu kita melaksanakan. penggantian pimpinan nasional dengan suasana yang tetap stabil. Ini pertanyaan yang ada di luar negeri. Mereka seperti belum tahu bahwa yang jadi dasar semua ini adalah Pancasila dan UUD ’45 dan bukan kehendak saya.

Ada-ada saja, sudah sekian kali kita melaksanakan suatu sistem pergantian pimpinan nasional berdasarkan pada UUD ’45, orang luar seperti masih saja belum mengerti. Memang mereka menilai bahwa Indonesia belum berpengalaman benar di dalam melaksanakan pergantian kepemimpinan nasional itu, padahal sudah beberapa kali dilaksanakan berdasarkan sistem yang kita bangun. Pengalaman yang sudah-sudah, sewaktu pergantian kepemimpinan nasional dari Bung Karno kepada saya, seolah-olah terjadi dengan ricuh. Ada yang menilainya seakan-akan itu terjadi dengan kekerasan. Padahal sama sekali tidak begitu! Itu telah terjadi dengan secara konstitusional juga.

Jadi, demikianlah kita membudayakan mekanisme kepemimpinan nasional.

***



[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 466-470.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.