PROGRAM KETERKAITAN INDUSTRI DI SEKTOR LAINNYA TIDAK BOLEH MENGARAH SISTEM MONOPOLI

PROGRAM KETERKAITAN INDUSTRI DI SEKTOR LAINNYA TIDAK BOLEH MENGARAH SISTEM MONOPOLI

 

Presiden Soeharto hari Rabu menegaskan, program keterkaitan industri dengan sektor ekonomi lainnya tidak boleh mengarah ke sistem monopoli.

Kepala Negara juga menilai program tersebut sangat penting sehingga tidak hanya dipikulkan pada Departemen Perindustrian tapi juga pada departemen teknis lain sesuai dengan bidang masing-masing.

Dalam sidang kabinet terbatas bidang Ekuin, di Bina Graha, Jakarta, hari Rabu.

Presiden juga menggariskan bahwa proses nilai tambah harus diusahakan dengan kemampuan sendiri sejak awal, mulai dari studi kelayakan, perencanaan sampai pemasaran.

Hal-hal itu diungkapkan Menteri Penerangan H. Harmoko kepada wartawan seusai sidang kabinet yang berlangsung hampir tiga jam dipimpin Presiden dan dihadiri Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah

Dalam sidang itu dilaporkan pelaksanaan program keterkaitan industri yang menyangkut pola pengembangan industri nasional dan bertujuan meningkatkan nilai tambah sektor industri sehingga struktur industri dalam negeri semakin mantap.

Keterkaitan itu meliputi antar industti sendiri, antara industri dengan kegiatan jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan, lalu antara industri dengan sektor ekonomi lainnya. Demikian pula antara industri besar, menengah dan kecil.

Harmoko mengatakan, pelaksanaan program itu harus dilandasi prinsip ekonomi yaitu hubungan usaha yang saling menguntungkan.

Landasan hukum dari program itu dikuatkan dengan UUD 1945, GBHN dan UU no. 5 tahun 1984 tentang perindustrian, khususnya pasal 10 dan 11.

Pelaksanaan program itu harus ditempuh dalam dua jalur, sekaligus yaitu jalur aparatur pemerintah dan aparatur perbankan.

Kepada dunia usaha juga diharapkan adanya kemauan dari kalangan pemegang saham untuk saling mengkait. “Untuk mensukseskan program itu Pemerintah bersikap tidak mengimbau tapi mengarahkan,” kata Menpen.

Presiden menugaskan Menko Ekuin Ali Wardhana untuk mengawasi dan menelaah koordinasi dalam pelaksanaan program keterkaitan itu.

Laju inflasi menurun

Dalam sidang itu dilaporkan dan dibahas indikator ekonomi-keuangan di mana jumlah uang beredar dalam Agustus lalu berjumlah Rp 8.524 miliar.

Indeks harga konsumen Indonesia yang dikaitkan dengan laju inflasi pada Agustus 1984 menunjukkan penurunan menjadi 0,15 persen.

Sedang menurut tahun anggaran (April-Agustus) mencapai angka 2,46 persen dan menurut tahun takwim tercatat 7,76 persen.

Mengenai neraca perdagangan bulan Juni 1984, berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), menunjukkan ekspor bernilai 1.986,3 juta dolar Amerika dan impor bernilai 1.188,4 juta dolar Amerika.

Dalam sidang itu dilaporkan bahwa persediaan semen, pupuk, kertas, garam dan minyak goreng cukup mantap.

Persediaan semen pada September mencapai 1.386.204 ton, sedang konsumsinya di dalam negeri pada Agustus berjumlah 750.400 ton dan ekspornya 56.000 ton.

Dalam bulan September ini dapat diekspor kertas sebanyak 6.000 ton sedang stok garam rasional berjumlah 786.696 ton dan minyak goreng disuplai 57.342 ton dibanding kebutuhan Agustus 49.596 ton sehingga masih ada stok 7.986 ton. (RA)

Jakarta, Antara

Sumber: ANTARA (05/09/1984)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 751-752.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.