R Soekardi: Pak Harto Memegang Teguh Konstitusi

Memegang Teguh Konstitusi[1]

R Soekardi[2]

Saya masih ingat bahwa pertama kali saya bertemu muka dengan Pak Harto adalah ketika Pak Harto menjadi Panglima Kostrad,dan saya sebagai pembantu Menteri Perindustrian, Hadi Thajeb. Kami berdua, yaitu saya dan Pak Hadi Thajeb, datang menemui Pak Harto dalam rangka partisipasi para karyawan Departemen Perindustrian dalam membantu suksesnya penumpasan G-30-S/ PKI. Waktu itu kami datang untuk menyampaikan dana bagi keperluan operasi penumpasan itu. Uang itu kami kumpulkan dari karyawan Departemen Perindustrian untuk disumbangkan kepada Kostrad dengan perantaraan Pak Harto. Dapat disampaikan bahwa kebutuhan akan dana di waktu itu besar sekali, sedangkan sumber dana yang teratur boleh dikatakan tidak ada. Hal seperti ini sebenamya bukan hanya dilakukan para karyawan Departemen Perindustrian saja, karena banyak juga orang lain yang melakukannya. Uang itu diterima oleh Pak Harto sendiri, karena ketika kami datang, beliau sendirilah yang menerima kami. Inilah kontak saya yang pertama dengan beliau.

Kesan yang saya peroleh dari perkenalan yang pertama ini adalah bahwa beliau merupakan seorang yang sangat serius dalam menghadapi sesuatu masalah. Namun keseriusan ini sama sekali tidak berarti bahwa beliau tidak ramah. Beliau itu ramah sekali, dan di mata saya beliau sama sekali tidak mempunyai perasaan angkuh atau suka membusungkan dada. Kita terima dengan cara yang baik dan dengan cara yang biasa begitu saja. Beliau sama sekali tidak menceritakan apa-apa yang telah beliau lakukan dalam rangka penumpasan G-30-S/PKI itu. Ini berarti bahwa beliau itu tidak mau menonjolkan diri. Berdasarkan pengalaman, saya mengetahui bahwa orang yang suka menonjolkan diri selalu menceritakan setiap kegiatan yang dilakukannya, dan dalam pada itu menonjolkan peranannya didalamnya. Pak Harto tidak pemah melakukan hal seperti itu, Bapak Menteri Perindustrian Hadi Thajeb sendiri juga merasa sangat terkesan akan pertemuan kami dengan Pak Harto itu. Sebelumnya Pak Hadi Thajeb membayangkan Pak Harto, sebagai seorang panglima, adalah orang yang keras dan tegas, tetapi temyata beliau adalah seorang yang lemah lembut.

Dari perkenalan pertama itu sampai ke masa sekarang ini, yang merupakan suatu jangka waktu yang tidak dapat dikatakan singkat, saya berkesimpulan bahwa baik sebagai kepala negara maupun sebagai pemimpin kabinet, Pak Harto itu adalah seorang yang selalu berpegang teguh kepada konstitusi. Hal ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa selama beliau menjadi Presiden, secara sistematis beliau telah melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengubah ataupun menambah peraturan perundangan yang ada sebelum beliau menjadi Presiden, dengan maksud agar segala sesuatunya itu benar-benar berjalan sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Disamping. itu dapat pula diperhatikan bahwa, setelah saya melakukan penilaian yang cukup lama, Pak Harto benar-benar menempatkan dirinya sebagai kepala negara. Beliau tidak memiliki suatu sifat subyektivitas, misalnya dengan menempatkan dirinya sebagai orang ABRI ataupun sebagai seorang Golkar. Beliau adalah seorang yang benar-benar demokratis Dalam berbagai kesempatan beliau selalu menegaskan bahwa beliau berbicara sebagai Presiden Republik Indonesia atau sebagai kepala negara. Kalau ada misalnya Munas Golkar, maka beliau tidak pemah berbicara sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Beliau selalu berbicara sebagai Presiden Republik Indonesia yang menghadiri Munas Golkar. Jadi sama keadaannya dengan kalau beliau menghadiri munas-munas organisasi lain, yang biasanya beliau memang senang menghadirinya.

Penilaian kepada beliau sebagai kepala negara ini dapat pula saya hubungkan dengan pendapat-pendapat yang saya dengar di luar negeri. Hal ini saya ketahui karena saya sering sekali memimpin delegasi-delegasi parlemen Indonesia ke organisasi parlemen sedunia yang diadakan setahun dua kali. Saya mendapat kesan bahwa penilaian yang diberikan kepala-kepala negara lain terhadap Pak Harto dapat dikatakan semuanya bemilai positif. Semua menilai Pak Harto, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan, sangat berhasil dalam menghantar rakyat Indonesia menuju kepada suatu situasi yang adil dan makmur. Beliau dinilai sebagai seorang yang pragmatis, dengan pengertian bahwa pendiriannya tidak meloncat ke sana-sini dan juga tidak gampang dipengaruhi oleh perkembangan keadaan saja. Dari penilaian ini dapat pula diketahui bahwa Presiden Soeharto dinilai sebagai seorang yang berpendirian tetap dan berpegang teguh pada konstitusi.

Sebagaimana diketahui saya sendiri tidak pemah menjadi menteri. Namun dari pengamatan yang saya lakukan dan dari pembicaraan saya dengan teman-teman para menteri itu, dapat saya simpulkan bahwa Pak Harto sebagai kepala kabinet adalah orang yang sangat demokratis. Dalam setiap rapat kabinet beliau selalu memulai dengan memberikan suatu pengarahan umum. Setelah itu kepada para menteri diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan rencananya. Kemudian Pak Harto memberikan petunjuk-petunjuk yang akan diolah kembali oleh para menteri. Setelah menjadi. konsep, sesuai dengan prosedur yang biasa, maka tentu saja konsep itu diberikan kepada Sekretaris Negara untuk memperoleh tanggapan dan koreksian-koreksian seperlunya.

Berdasarkan hal itu dapat dikemukakan bahwa Pak Harto mengetahui betul seluk-beluk segala permasalahan. Penguasaan Pak Harto terhadap segala permasalahan telah menjadi rahasia umum. Kalau saya berbicara dengan beliau mengenai sesuatu masalah, misalnya mengenai masalah ekonomi, maka beliau tahu persis apa yang dibicarakan itu. Apalagi kalau beliau berbicara mengenai masalah pertanian, katakanlah misalnya bagaimana pelaksanaan Insus padi, maka sudah pasti beliau tahu persis permasalahannya. Beliau·malah mengetahui komposisi pupuk yang diberikan.

Sifat kenegarawanan beliau adalah besar sekali. Beliau hebat sebagai seorang politisi dan hebat pula sebagai sebagai seorang negarawan. Hal ini tidak dapat disangkal lagi, karena sudah ternyata dari bukti-bukti yang kita miliki. Orang bisa saja mengatakan bermacam-macam hal, namun semua orang mengakui bahwa pembangunan kita sekarang ini sangat berhasil. Contohnya banyak. Dahulu kalau kita masuk ke kampung-kampung, jalan-jalannya boleh dikatakan semuanya rusak. Sekarang masih ada jalan yang rusak, akan tetapi pada umumnya sebagian besar sudah baik keadaannya. Dahulu kita lihat banyak orang yang sukar mendapatkan keperluan untuk pakaian yang pantas. Sekarang pakaian itu telah berlebih-lebihan jumlah dan ragamnya. Sampai-sampai saya sendiri tidak mengerti bagaimana mungkin kita dapat membeli pakaian dengan harga yang demikian murah. Dalam hal beras, dimana dahulu kita terpaksa mengimpor dari luar negeri dalam jumlah yang sangat besar, sekarang kita telah sampai ke tingkat swasembada, dan bahkan juga telah mampu mengekspor ke luar negeri.

Selanjutnya dapat pula kita perhatikan bahwa beliau baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara betul­betul mengetahui prioritas-prioritas pembangunan. Sekarang ini mulai terdengar ada orang yang mengatakan bahwa para petani masih belum dapat menikmati hasil pembangunan. Saya melihat bahwa pendapat seperti ini adalah pendapat yang ekstrim. Menurut apa yang saya amati, para petani telah menikmati hasil pembangunan, tetapi memang belum merata. Dalam hal ini saya kira Presiden Soeharto sendiri sudah sering mengatakan bahwa hasil pembangunan itu masih belum bisa merata. Lagi pula kita masih harus mempertanyakan, ukuran pemerataan itu apa. Namun begitu, kalau masalahnya adalah masalah menikmati, maka memang para petani telah menikmati. Kalau sekarang ini kita pergi ke daerah-daerah, maka kita akan kagum sekali melihat bahwa sudah jarang kita dapati rumah yang peyot-peyot; kalau pun ada maka mungkin sedikit jumlahnya.

Berbicara mengenai keadaan rumah-rumah ini, maka dapat kita perhatikan bahwa jangankan kita, di Singapura saja flat-flat yang kelihatannya bagus dari luar itu, kalau kita masuk ke dalamnya kita akan menemui keadaan yang tidak seindah apa yang kita bayangkan. Di Negeri Belanda keadaan rumah rakyat itu juga tidak baik. Di Portugal dalam kunjungan saya untuk menghadiri konferensi IPU (Inter-Parliamentary Union)pada tahun 1978, saya dapati banyak sekali rumah peyot. Di Amerika Serikat pun, pada waktu terjadi krisis minyak dahulu, saya melihat (di Houston) banyak orang yang menjadi gelandangan. Jadi berdasarkan semuanya itu dapat disimpulkan bahwa gejala kemiskinan itu terdapat di mana-mana, bahkan juga di negara-negara maju yang sering kita asosisasikan dengan kemakmuran dan kemewahan. Jadi yang menjadi persoalan sekarang ini adalah apa yang akan kita jadikan tolok ukur dari pemerataan itu.

Saya berpendapat bahwa sebaiknya kita memperhatikan perjalanan Orde Baru itu dari permulaannya sampai sekarang ini. Dari sana kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Orde Baru ini ada achievementnya. Dan kita melihat bahwa memang Pak Harto sendiri selalu melakukan upaya-upaya perbaikan dalam berbagai bidang kehidupann ini. Dalam bidang ekonomi beliau selalu berusaha untuk meningkatkan produktivitas. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa teori-teori yang di Barat sudah membuktikan kebaikannya, di Indonesia mungkin tidak begitu cocok. Seperti misalnya yang berkenaan dengan teori input-output. Pak Harto menyadari bahwa di Indonesia ini, output yartg dicapai tidak seimbang dengan input yang telah diberikan. Karena itu dapat dikemukakan bahwa salah satu ciri yang menonjol dari negara-negara berkembang adalah bahwa mereka belum bisa efisien. Saya katakan ”belum bisa”; saya tidak mengatakan “tidak bisa”. Dalam bidang birokrasi dan manajemen beliau selalu berusaha untuk meningkatkan efisiensi para pejabat. Hal itu beliau lakukan tanpa putus-putusnya.

Dalam bidang pendapatan rakyat, kita lihat bahwa rata-rata pendapatan per kapita kita dahulu adalah sekitar US$45. Sekarang pendapatan per kapita kita telah menjadi kira-kira US$600, sehingga kita tidak lagi termasuk dalam kelompok negara miskin. Utang­utang luar negeri mampu kita bayar dalam bentuk yang teratur dan sesuai dengan jadwal. Kita membayar semuanya itu karena kita telah sanggup. Kita bisa juga berbuat nakal dalam soal pembayaran · utang ini, tetapi kita akan rugi sendiri nanti.

Kita berbuat demikian karena Pak Harto memikirkan segala sesuatunya secara luas. Beliau mempunyai prinsip:

“Saya mempunyai utang dan saya harus membayamya. Saya membayamya karena memang saya mampu melakukannya; bukan hanya sekadar untuk dipuji orang lain, atau karena maksud-maksud lain”.

Hal ini sebenamya berhubungan erat dengan kesan pertama yang saya peroleh ketika saya pertama kali berkenalan dengan Pak Harto. Kita melakukan semuanya itu bukan karena ingin dipuji, akan tetapi karena hal itu adalah kewajiban kita dan kita mampu melakukannya. Indonesia itu kaya, karena itu mampu. Hal ini berbeda sekali dengan apa yang kita dengar dari negara-negara lain, dimana mereka, karena tidak mampu, terpaksa minta rescheduling. Ada juga diantara mereka yang mampu, tetapi karena mau berbuat nakal, tidak mau membayar utang. Tetapi Pak Harto tidak mau berbuat seperti itu. Beliau selalu menekankan kepada para menteri agar semua utang-utang itu dibayar tepat pada waktunya. Posisi moneter kita harus dijaga sedemikian rupa sehingga pembayaran itu tidak terganggu.

Kalau kita perhatikan kepribadian Pak Harto dalam bentuk yang lebih mendalam, maka kita akan mendapatkan bahwa disamping kejujuran dan kesederhanaan, beliau memiliki keinginan yang keras untuk maju. Adalah suatu hal yang sangat wajar bahwa pada waktu pertama kali diserahi tugas untuk memimpin bangsa dan negara ini, tentu saja pengetahuan dan pengalaman beliau masih amat terbatas. Beliau selalu belajar tanpa henti-hentinya. Beliau mencatat dan mengingat segala sesuatunya, termasuk segala penjelasan yang beliau terima dari para menteri. Namun kemudian setelah beliau menguasai persoalan itu, maka beliau memberikan pengarahan dan petunjuk, dan para menteri itulah yang harus mencatat. Karena itu, kalau berhadapan dengan Presiden Soeharto, kita hendaknya hanya berbicara mengenai apa yang kita kuasai saja. Jangan seperti sementara orang yang tidak mengerti permasalahan akan tetapi mau berbicara.

Mengenai keinginan Pak Harto yang amat kuat untuk maju itu, dapat saya kemukakan pengalaman saya pribadi. Disamping sebagai ketua Golkar selama sepuluh tahun lamanya, saya juga menjadi ketua DPP Pepabri. Dalam salah satu pertemuan setelah Munas Golkar tahun 1978, saya kumpulkan anggota-anggota Pepabri itu di Istana. Di depan mereka Pak Harto memberikan sebuah uraian mengenai pembangunan secara oral, tanpa teks. Semua yang hadir merasa sangat kagum dan terpukau. Mereka berkata dalam hati, “Pak Harto ini pandai betul sekarang”.

Dan dapat saya kemukakan bahwa bukan mereka saja yang terpukau, tetapi saya juga terpukau. Padahal dapat dikatakan bahwa saya hampir saban hari bertemu dengan beliau. Jadi sekarang ini beliau mengetahui segala-galanya. Jangan coba-coba sekarang. Kalau misalnya seorang menteri datang menghadap kepada beliau sekarang ini, katakanlah Menteri Perhubungan yang ingin melaporkan masalah jalan layang di Jakarta, sudah pasti dia akan ditanya dan diuji.

Suatu hal yang tidak kurang menariknya mengenai Pak Harto adalah perlakuan beliau terhadap orang lain. Pak Harto tidak pernah memperlakukan seseorang secara khusus. Di mata beliau semua orang itu sama saja; semua orang sama baiknya. Dengan demikian maka setiap orang yang bersalah tentu harus mendapat teguran. Dalam hal ini saya juga mempunyai pengalaman yang sangat menarik, yaitu sewaktu saya menjadi ketua Golkar pada periode Amir Murtono, dimana Amir Murtono menjadi Ketua Umum dan saya Ketua. Pada suatu saat saya dan Amir Murtono menjumpai Pak Harto untuk melaporkan bahwa masih ada sejumlah kepala daerah dan sejumlah anggota Korpri yang tidak benar-benar mau menghayati bahwa dia itu seorang anggota Golkar.

Mendengar laporan kami itu, Pak Harto ketawa. Saya heran, kenapa beliau ini ketawa. Saya baru mengerti setelah beliau berkata:

“Jangan menyalahkan orang itu! Kalian berdua yang salah, karena sebagai ketua umum dan ketua tidak berhasil meyakinkan orang­orang itu akan kebenaran Golkar.”

Saya berpendapat bahwa kata­kata ini hebat. Jadi kita tidak boleh menyalahkan orang-orang yang belum mau itu. Memang di saat itu, suasananya masih dalam suasana pemilihan umum. Di waktu itu kita selalu mengatakan kenapa misalnya di Departemen Agama orang yang memilih Golkar itu hanya sekian. Jadi berdasarkan kata-kata Pak Harto itu, kita tidak boleh menyalahkan orang-orang itu. Dan mereka tidak perlu dipaksa. Kitalah yang salah, karena belum bisa meyakinkan mereka. Dari ucapannya itu, saya betul-betul meyakini bahwa Pak Harto itu adalah seorang politisi yang matang dan seorang kepala negara yang berdiri diatas semua golongan.

Kedemokratisan Pak Harto dapat pula saya perhatikan dari suatu pengalaman lain, yaitu pengalaman main golf. Pak Harto adalah seorang penggemar golf; saya pun begitu. Saya adalah wakil Pak Domo dalam kepengurusan Jakarta Golf Club. Saya adalah orang yang berpendapat bahwa dari golf kita dapat memahami watak seseorang. Di lapangan golf itu kita dengan mudah dapat mengetahui sifat seseorang. Nah, saya main golf tiga kali seminggu, dan Pak Harto juga main tiga kali seminggu. Jadi ada kalanya secara kebetulan saya bertemu dengan beliau. Lalu kalau saya main di lapangan dan Pak Harto berada di belakang saya, saya tentu saja merasa rikuh. Ada suatu perasaan seakan-akan saya ini diburu. Saya merasa groggy kalau bermain di depan Pak Harto itu. Saya mempersilakan beliau untuk main lebih dahulu. Beliau selalu berkata: “Kardi, (kadang-kadang saya dipanggil Kardi saja) kamu saja! Dulu saja situ!”.

Pak Harto tidak mau kalau dipersilahkan bermain lebih dahulu. Bahkan kalau ada pengawal beliau yang nampaknya mau sedikit mengganggu orang yang di depannya, maka mereka ditegur oleh Pak Harto: ”Jangan! Biarkan saja orang itu bersenang-senang! ”

Ini berbeda sekali dengan satu-dua diantara teman-teman saya, baik yang jenderal maupun yang pejabat, yang selalu minta didahulukan. Mereka berkata: “Saya dulu, ya?”. Dan, Pak Harto setelah main tidak mau membersihkan diri di tempat yang telah disediakan khusus untuk beliau. Beliau selalu pergi ke tempat biasa yang disediakan untuk semua orang. Dari semuanya itu kelihatan sifat demokratis Pak Harto dan keyakinan bahwa beliau itu adalah manusia biasa yang menghormati tata cara yang berlaku dalam masyarakat, termasuk menghormati rules of the game di lapangan golf.

Dalam bidang politik yang Iebih intim dengan kegiatan saya sehari-hari sebagai ketua fraksi Golkar di MPR/DPR, saya melihat bagaimana pemahaman dan pelaksanaan Demokrasi Pancasila itu di mata Pak Harto. Dalam sidang MPR yang baru lalu muncul dua calon wakil presiden. Pada waktu itu Pak Harto mengatakan bahwa memang setiap fraksi itu mempunyai kedaulatan untuk mengemukakan calon bagi presiden dan wakil presiden di masa pencalonan itu. Akan tetapi kalau seorang calon itu tidak mendapat dukungan sekuat calon yang diajukan fraksi-fraksi lain, maka dalam rangka Demokrasi Pancasila, sebaiknya harus dipahami bahwa pencalonan ini tidak usah dipaksakan. Sebab kalau dipaksakan maka tentu nanti akan mempunyai akibat memecah-belah, baik memecah belah lingkungan sendiri maupun memecah-belah lingkungan lainnya. Sistem kita itu adalah sistem dimana semuanya melalui kendali fraksi. Pemilihannya itu sendiri bersifat perseorangan, akan tetapi kendalinya pada fraksi. Lalu Pak Harto mengemukakan bahwa seorang pemimpin, disamping mempunyai hak juga mempunyai kewajiban. Diantara kewajiban itu adalah bagaimana caranya agar benar-benar mengamankan Pancasila dan UUD 1945 itu.

Dapat saya kemukakan di sini bahwa dalam melaksanakan pencalonan wakil presiden itu ada suatu pasal dalam tata-tertib yang menyatakan bahwa presiden terpilih dapat menentukan pilihannya terhadap calon wakil presiden. Jadi umpamanya pada waktu itu ada dua calon wakil presiden, maka bisa saja Pak Harto menggunakan pasal itu untuk memilih salah seorang calon wakil presiden itu, yang dianggapnya lebih dapat bekerjasama dengannya. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan bahwa yang dipilih terlebih dahulu adalah presiden dan baru setelah itu wakil presiden.

Namun setelah mengadakan pertemuan dengan Pak Harto, beliau menegaskan bahwa didalam Demokrasi Pancasila kita tidak boleh mementingkan hak saja, akan tetapi juga kewajiban. Pak Harto tetap menghormati kedaulatan setiap fraksi untuk mengajukan calon. Seperti ketika itu, calon Sudharmono didukung oleh empat fraksi. Lha ini satu fraksi, kenapa mau terus saja? Jadi yang dipersilahkan Pak Harto ketika itu bukan pencalonan Pak Naro, tetapi kenyataan bahwa Pak Sudharmono ketika itu sudah didukung oleh empat fraksi. Ketika itu Pak Harto berbicara kepada segenap pimpinan MPR, termasuk Naro sendiri. Dan beliau berbicara secara terus terang mengenai pengertian Demokrasi Pancasila itu.

Alasan yang dikemukakan Naro untuk tidak menarik pencalonan dirinya ketika itu adalah “taat fraksi”. Jadi ini adalah suatu permainan politik. Tetapi saya sendiri didalam hati sudah mengetahui bahwa Naro pasti akan menarik pencalonannya, karena ia dan partainya tidak akan mau bunuh diri. Namun untuk kepentingan permainan politik maka ia akan tetap bertahan sampai saat-saat terakhir. Malah ada wartawan yang bertanya kepada saya: “Pak, apa tidak takut nanti kalau Fraksi Karya pecah?” Saya menjawab: “Ah tidak. Kan ada jaminan Fraksi ABRI. Seratus orang akan mendukung penuh. Dua ratus sekian lebih.” Dia bertanya lagi: “Dari mana Bapak tahu?” “Lha, kan rapatnya di kamar saya sendiri.”

Dari sinilah kita dapat melihat bagaimana penghayatan dan pendalaman Pak Harto terhadap Demokrasi Pancasila. Konsistensi juga merupakan suatu kata kunci dalam memahami Pak Harto dan tindakan-tindakannya. Dalam masyarakat, terutama di bidang ekonomi kita mendengar banyak dibicarakan orang tentang deregulasi. Bagi saya, deregulasi sebenamya bukan deregulasi, akan tetapi konsistensi, yaitu konsistennya Pak Harto dalam melaksanakan rencana-rencana politiknya di semua bidang. Kelihatannya sekarang Pak Harto melihat bahwa sudah datang waktunya untuk mengadakan deregulasi di bidang ekonomi. Pak Harto menyadari hal itu. Lalu beliau berbincang-bincang dengan para pembantunya di bidang ekonomi dan keuangan, dan keluarlah peraturan itu. Kalau kita melihat perusahaan-perusahaan negara dewasa ini, kita dengar ada yang mau dijual. Semuanya itu harus kita lihat dalam hubungannya dengan UUD 1945, dimana terdapat kata-kata “dikuasai” oleh negara. Tetapi  sebenamya kata-kata “dikuasai” di sini sama sekali tidak berarti “dimiliki” oleh negara. Yang dimaksud adalah “diatur” atau “diarahkan” oleh negara, sehingga betul-betul dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dahulu rupanya orang tidak mengerti pemahaman ini, sehingga pemerintah harus mempunyai perusahaan sendiri. Kalau begini maka ini namanya sudah menjadi etatisme .

Karena Pak Harto pada dasarnya memang sistematis, maka beliau berpendapat bahwa sudah datang masanya perusahaan­perusahaan negara itu dijadikan perusahaan swasta. Jadi pengendalian policy dan pengawasannya tetap pada pemerintah, tanpa pemerintah mencampuri urusan dalaninya. Caranya adalah dengan mengadakan peraturan-peraturan. Sekarang kita lihat bahwa banyak perusahaan yang go public. Ini juga dalam rangka pemerataan pemilikan dan pemerataan pendapatan. Dahulu karena situasinya belum mengizinkan, maka Pak Harto belum melakukannya. Akan tetapi sekarang ini situasinya sudah cukup matang untuk itu. Akibatnya semua pihak beruntung. Dahulu orang-orang yang memiliki perusahaan tidak mau go public. Tetapi sekarang kan jelas keuntungannya, karena dapat modal dengan cara yang amat murah.

Dalam menghadapi perkembangan ini kita tidak perlu takut. Semua pihak beruntung, termasuk rakyat, pemerintah dan banknya sendiri. Saya akui sendiri, kalau dahulu saya mendapat uang satu dua juta, maka saya lebih suka menyimpannya dibawah banta!. Sekarang kan tidak. Saya simpan di bank, dan saya mendapat jasa giro 15%, dan uang itu setiap saat dapat diambil kembali.

Dari sini dapat kita lihat bahwa deregulasi itu tidak lain dari pada kekonsistenan pemikiran Pak Harto dalam pembangunan negara ini. Konsistensi ini kita lihat pula dalam bidang politik. Hal ini jelas terlihat apabila kita perhatikan peraturan perundangan. Dahulu belum ada peraturan yang berkenaan dengan partai politik dan Golkar. Sekarang peraturan dan undang-undang seperti itu telah ada, malah kita sekarang telah menghasilkan “satu asas”. Kalau kita telusuri perkembangan ini terlihat bahwa pertama-tama yang dilakukan Pak Harto adalah memperkenalkan P4, yang dilakukan demi untuk penghayatan dan pengamalan Pancasila. Semuanya itu dilakukan secara konsisten. Cobalah kita perhatikan urut-urutannya, mulai dari multi-partai, lalu penyederhanaan jumlah partai, dan setelah itu menghilangkan asas ciri. Lalu pemisahan ormas dari partai politiknya karena mulai dari saat itu harus dijelaskan perbedaannya, dimana partai politik itu benar-benar partai politik, sedangkan organisasi kemasyarakatan benar-benar pula organisasi kemasyarakatan. Semuanya itu berlangsung secara konsisten. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukakan bahwa Golkar karena sejarahnya memang tidak mau dinamakan partai politik, meskipun dari segi sruktur dan fungsinya memang tidak ada bedanya dengan partai politik. Kita bukan partai politik. Kita adalah golongan karya.

Mengenai hubungan antara pimpinan MPR/DPR dengan Presiden, hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Pak Harto selalu menekankan kepada setiap orang dan kepada setiap pejabat agar supaya benar-benar menghormati konstitusi. Karena itu kalau saya dalam kedudukan saya sebagai pimpinan MPR/DPR datang kepada beliau untuk minta petunjuk, maka Pak Harto tidak akan mau menerimanya dan akan menolaknya, karena hal itu secara konstitusional tidak benar. Beliau tidak dapat menerima bahwa pimpinan Majelis yang memberikan mandat kepada beliau datang untuk meminta petunjuk. Oleh karena itu setiap kali pimpinan Majelis atau Dewan datang kepada Pak Harto, maka rumusnya adalah untuk berkonsultasi. Kalau dikatakan datang untuk menghadap Presiden, maka beliau pun tidak mau. Dan juga kalau misalnya saya kembali dari kunjungan ke luar negeri, maka Pak Harto tidak akan mau kalau dikatakan bahwa saya melaporkan hasil kunjungan saya kepada beliau. Beliau akan mengatakan kira-kira sebagai berikut: “Saudara Soekardi, Wakil Ketua MPR/DPR, bertemu dengan saya untuk menyampaikan masalah-masalah atas basil kunjungan kerjanya ke luar negeri.” Jadi bukan melaporkan. Kalau menteri, maka ia datang memang untuk memberikan laporan, karena itu adalah tugasnya. Jadi beginilah demokratisnya Pak Harto itu. Masih banyak contoh-contoh lain yang dapat dikemukakan dalam hal ini.

Sebenamya Pak Harto mau saja datang ke gedung MPR/DPR, tetapi kita yang tidak mau. Lalu kalau saya minta petunjuk kepada Presiden, maka harus dalam kapasitas saya yang lain, misalnya selaku anggota Dewan Pembina Golkar, dimana Pak Harto adalah ketuanya. Dan jangan dilupakan bahwa saya juga adalah yuniomya Pak Harto dalam hirarki ABRI, baik sewaktu masih aktif maupun setelah purnawirawan. Maka kalau saya mengadakan konsultasi dengan Pak Harto hal itu saya lakukan dalam kapasitas saya seperti itu.

Lalu masalah-masalah apa saja yang saya konsultasikan dengan beliau? Pada umumnya saya berkonsultasi apabila saya menghadapi masalah-masalah yang belum bisa saya temukan jawabannya secara positif. Dalam keadaan seperti itulah saya berkonsultasi dengan Pak Harto. Misalnya dalam masalah yang menyangkut sesuatu RUU, dimana umpamanya saya mendapatkan sesuatu pasal yang saya tidak yakin akan kebenarannya. Maka untuk mencari pengertian yang sesungguhnya dari RUU itu, saya berkonsultasi dengan Pak Harto. Jadi dalam keadaan itu, saya berkonsultasi dan sekaligus minta petunjuk kepada beliau.

Suatu masalah lain yang erat hubungannya dengan jabatan Presiden adalah masalah protokoler. Saya berpendapat, sampai hari ini, bahwa yang paling tinggi kedudukannya dalam negara ini dipandang dari segi protokoler adalah Presiden. Pimpinan MPR itu adalah setelah Presiden dan Wakil Presiden. Jadi susunannya: Presiden, Wakil Presiden dan Pimpinan MPR. Presiden dilebihkan karena ia adalah Kepala Negara. Kita sendiri sebenamya tidak pemah mempermasalahkan hal ini. Kita selalu mengatakan bahwa secara protokoler yang nomor satu adalah Presiden. Di seluruh dunia keadaannya juga begitu. Ini terlepas dari kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan MPR. Memang ada yang menjadi masalah belakangan ini, yaitu masalah urutan antara para wakil pimpinan MPR dan para menteri. Siapa yang harus didahulukan. Dan ternyata dalam menghadapi masalah ini pun Pak Harto cukup bijaksana. Beliau menjelaskan bahwa ini bukan masalah. Supaya menulisnya gampang maka menteri didahulukan, walaupun pada hakikatnya sama saja. Namun begitu kadang-kadang kita merasa malu, karena meributkan masalah-masalah seperti itu.

Suatu masalah yang sering diributkan orang belakangan ini adalah masalah-suksesi kepemimpinan nasional. Pak Harto telah memberikan pendapat yang cukup jelas mengenai masalah ini. Intisari pendapat beliau itu adalah bahwa masalah suksesi itu tidak usah diribut-ributkan lagi. Beliau tidak melarang orang membicarakannya, akan tetapi buat apa membicarakan masalah itu. Karena yang akan membicarakannya nanti adalah fraksi yang akan datang. Kalau mau dibicarakan juga, biarlah DPP partai-partai saja yang membicarakannya. Tetapi kalau orang biasa atau anggota MPR yang membicarakannya ya boleh saja, tetapi apakah itu perlu. Saya juga berpendapat bahwa ini hanya membuang-buang waktu saja. Kalau misalnya saya, Soekardi, pimpinan MPR, buat apa saya membicarakan masalah suksesi itu? Kalau saya akan berbicara mengenai masalah itu, maka saya akan membicarakannya. didalam partai saya dan dalam waktunya yang tepat pula. Kalau kita bermaksud untuk menujukannya kepada Presiden, maka yang namanya kepemimpinan nasional itu bukan Presiden, akan tetapi mekanisme konstitusi. Dan sampai sekarang setahu saya tidak ada orang yang membicarakan masalah suksesi Presiden, karena tampaknya orang rikuh mengemukakannya, dan tidak ada yang berani. Disamping itu saya yakin bahwa Pak Harto. tidak mempunyai putera mahkota. Hal itu memang tidak perlu. Yang perlu menentukan suksesi kepemimpinan, dalam arti presiden itu, adalah partai-partai politik.

Saya telah berkali-kali mengemukakan bahwa Pak Harto itu orangnya sederhana dan gamblang. Beliau tidak pernah mengatakan melarang membicarakan masalah suksesi. Akan tetapi akan lebih baiklah kiranya kalau kita tidak membuang-buang waktu kita yang berharga itu. Lebih baiklah kalau kita membicarakan bagaimana caranya agar jalan layang itu dapat selesai dengan cepat. Atau membicarakan masalah pengangguran. Atau membicarakan bagaimana caranya mengadakan sistem pendidikan yang lebih baik. Bagaimana caranya mengatur masalah perumnas yang kacau itu. Banyak lagi masalah-masalah lain yang lebih urgen untuk dibicarakan.

Demikianlah beberapa catatan dan pemikiran yang dapat saya berikan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Bapak Presidep Soeharto. Menurut pendapat saya beliau adalah seorang yang seluruh tindakannya, dalam membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih adil dan makmur, selalu berpegang teguh kepada konstitusi, dalam keadaan bagaimana pun juga

***



[1]     R Soekardi, “Memegang Teguh Konstitusi”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 743-755.

[2]     Mayjen. (Purn.) TNI; Wakil Ketua MPR/DPR masa bakti 1987-1992.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.