IJASAH BUKAN TANDA DERAJAD SOSIAL YANG BARU

IJASAH BUKAN TANDA DERAJAD SOSIAL YANG BARU Presiden:

Orangtua Jangan Malu Masukkan Anaknya Sekolah Kejuruan PLPT Surabaya, Medan, Jakarta, Bandung, dan Ujungpandang Diresmikan [1]

 

Surabaya, Kompas

Presiden Soeharto mengingatkan masyarakat terutama para orangtua agar tidak memaksakan anak-anaknya memasuki suatu sekolah tanpa memperhitungkan kemampuannya sendiri maupun kemampuan anak-anaknya. Karena sikap itu keliru dan mernpakan pengharnbat lahirnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dibidang teknik dan kejuruan. Dewasa ini masih banyak kalangan orang tua yang merasa malu apabila anaknya memasuki Sekolah Kejuruan. Ada juga yang merasa ‘martabat’nya kurang tinggi jika anak-anak mereka tidak memasuki Perguruan Tinggi.

“Perasaan malu yang demikian terang tidak beralasan,” demikian Presiden tatkala meresmikan Pusat Latihan. Pendidikan Teknik di Surabaya, Kamis kemarin, yang sekaligus secara simbolis juga meresmikan pembukaan PLTP lainnya di Medan, Jakarta, Bandung dan Ujungpandang.

Menurut Kepala Negara, hal-hal seperti itu mungkin disebabkan pengertian masyarakat yang keliru terhadap tujuan pendidikan. Padahal tujuan itu adalah untuk mengantarkan anak-anak didik, agar kelak menjadi warganegara yang bertanggung jawab dan dapat berdiri sendiri, berguna bagi diri sendiri dan masyarakatnya yang terus membangun.

“Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sama sekali bukanlah ditujukan hanya untuk mendidik calon-calon pegawai negeri atau mereka yang bekerja dibelakang meja kantor-kantor. Ijazah juga sama sekali bukan tanda ‘derajat sosial’ yang baru,” kata Presiden menegaskan.

Ia menilai sikap masyarakat yang keliru itu mengakibatkan derasnya anak-anak memasuki Sekolah-Sekolah Menengah Umum, tanpa menghitung-hitung masa depan. Akibatnya jika karena berbagai sebab mereka tidak dapat meneruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka mereka sulit mendapat pekerjaan atau mereka belum siap untuk berdiri sendiri. Presiden memperingatkan dalam masa pembangunan yang semakin memerlukan ketrampilan dan keahlian di segala tingkatan itu dengan sendirinya setiap lapangan pekerjaan “seolah-olah tertutup bagi mereka yang tanpa ketrampilan dan keahlian.”

Kepada masyarakat, ia kemudian menyerukan untuk merubah sikap-sikap keliru tadi, dan kepada anak-anak diingatkan hendaknya jangan memasuki suatu jenis sekolah atau perguruan tinggi hanya sekedar karena mengira bahwa dengan itu “martabat” orang tua akan naik!.

Dapat Menjadi Bencana

Menyinggung unsur tenaga kerja, Presiden menekankan mutu tenaga kerja itu memberi pengaruh besar terhadap pembangunan baik ke arah positif maupun sebaliknya

“tenaga kerja yang besar tapi tanpa ketrampilan dan keahlian, dapat merupakan bencana bagi masyarakat,” katanya.

Sebab tenaga kerja seperti itu dapat menghambat jalannya pembangunan dengan melarnbatkan jalannya pekerjaan dan malah menimbulkan kemacetan-kemacetan.

Dan ia menilai jumlah tenaga kerja kita sekarang cukup besar. Tapi ketrampilan dan keahliannya masih jauh dari kebutuhan, hal ini juga karena struktur pendidikan masa lalu yang tidak seimbang, untuk mengakhiri kepincangan itu, sistim pendidikan mulai diperbaharui ditujukan untuk menghasilkan “manusia-manusia pembangunan”. Setiap anak yang dididik tidak hanya dibekali pengetahuan, tapi juga ketrampilan.

Menurut Kepala Negara, pembukaan PLPT di lima kota besar serta sekolah-sekolah teknologi pembangunan merupakan sebagian dari wujud pembahaman tadi. Dan ia mengharapkan kerjasama antara sekolah-sekolah itu dengan masyarakat dikembangkan sehingga usaha menjadikan sekolah sebagai bagian masyarakat yang membangun benar benar berhasil.

“Sekolahpun harus kita jadikan bidang pembangunan yang produktif, bukan sekedar konsumtif,” demikian Soeharto.

Apa itu PLPT

Pembukaan PLPT itu merupakan bagian acara kunjungan kerja Presiden ke Jawa Timur selama sehari, yang disertai Ny. Tien Soeharto serta beberapa menteri. Presiden dan rombongan ke Surabaya memakai pesawat Boeing-707 yang bermesin jet 4 buah kepunyaan Pelita Air Service. Pesawat jenis satu-satunya di Indonesia ini bam tiba dari pabriknya di AS dan oleh Pelita akan “dicharterkan” untuk turis dari luar negeri.

Selesai membuka PLPT, Presiden kemudian membuka STM Pembangunan Surabaya, yang terletak di Kaliwaron. STM ini mulai menerima mood sejak tahun 1974 dan mempunyai jurusan bangunan gedung, bangunan air, listrik, elektronika, mesin konstruksi, automotif dan kimia industri. Gedung ini luas lantainya 8.200 m2, dan telah menelan biaya sekitar Rp. 600 juta. Kota-kota lainnya yang telah punya STM Pembangunan adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Ujungpandang, Pekalongan (khusus teknologi tekstil) dan Temanggung (khusus teknologi hasil pertanian).

Menteri P dan K yang diwakili Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan, STM Pembangunan (4 tahun) diarahkan untuk menghasilkan “teknisi industri'” sedang STM (8 tahun) dengan latihan praktek di PLPT diarahkan untuk menghasilkan “juru teknik”. Dan PLPT yang telah dibangun di lima kota itu akan menampung 13.500 siswa dari 18 STM di kota-kota tersebut. Diharapkan mulai tahun 1976, akan dihasilkan 4.500 ‘juru teknik’ yang bermutu setiap tahunnya.

Menurut rencana, di Indonesia akan dibangun PLPT lagi dan 80 STM akan ditingkatkan mutunya. Sehingga pada akhir Pelita II, dapat dihasilkan 22.500 juru teknik setahunnya atau 55 pCt kebutuhan tenaga juru teknik itu setiap tahunnya.

Kelima PLPT yang telah diresmikan itu dibangun dengan biaya sekitar Rp.1,5 milyar. Jika kelimanya telah beroperasi penuh, setiap minggunya, pagi dan sore, akan melayani 13.500 siswa dengan tenaga lebih dari 700 orang. Pada setiap PLPT tersedia peralatan-peralatan praktek untuk berbagai jurusan dalam STM, serta dilengkapi dengan bengkel-bengkel kerja. Khusus PLPT, Bandung dan Medan, akan melaksanakan program untuk menghasilkan “teknisi industri”, yang setingkat dengan lulusan STM Pembangunan 4 tahun.

Keterangan menyebutkan, pembangunan PLPT ini dibantu juga oleh Bank Dunia, dan Presiden bank tersebut, Robert McNamara dalam laporannya kepada Dewan Direksi Bank Dunia secara khusus pernah menyebutkan kebutuhan Indonesia akan tenaga teknisi, baik golongan rendah maupun menengah. (DTS)

Sumber: KOMPAS (23/05/1975)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 801-804.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.