PANCASILA DAN UUD’ 45 MAKIN TUNJUKKAN KEBENARAN GOLONGAN MANAPUN YG AKAN MEROBAHNYA PASTI HANCUR

PANCASILA DAN UUD’ 45 MAKIN TUNJUKKAN KEBENARAN GOLONGAN MANAPUN YG AKAN MEROBAHNYA PASTI HANCUR [1]

 

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya pada pembukaan masa sidang I DPR tahun 1975/1976, hari Sabtu mengemukakan, bahwa pengamatan dan renungan terhadap pengalaman bangsa dan negara selama 30 tahun merdeka, menunjukkan ujian yang berulang kali teIjadi terhadap Pancasila dan UUD’ 45. Dan makin menunjukkan kebenaran Pancasila dan UUD’ 45 sebagai satu2nya jawaban terhadap tantangan dan masalah yang kita hadapi. “Karena kebenarannya itu maka siapapun dan golongan manapun yang akan merobahnya pasti akan berakhirnya dengan kehancurannya sendiri”. Demikian Presiden Soeharto.

Kepala Negara pada kesempatan itu mengingatkan untuk tidak menyalahkan arti ajakannya menyatukan tafsir mengenai Pancasila dan pengetrapannya dalam segala bidang kehidupan, baik secara perorangan maupun dalam hidup bermasyarakat.

Ditegaskan, bahwa ajakan tersebut bukan untuk mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi adalah menjabarkan Pancasila dalam rumusan2 yang sederhana dan jelas untuk dipakai sebagai pedoman sikap hidup manusia Pancasila. Ajakan untuk memikirkan penghayatan dan pengalaman Pancasila dalam segi kehidupan dan tingkah laku sehari-hari.

Diingatkannya bahwa penghayatan dan pengalaman Pancasila serta memberi wujud yang nyata dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya masalah masa sekarang, tetapi merupakan masalah besar bagi kehidupan Bangsa kita di masa datang.

Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun pengertiannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila, lebih2 generasi yang akan datang, akan luntur. “Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku2 sejarah Indonesia,” kata Presiden.

Dikatakannya bahwa keyakinan kita terhadap Pancasila akan merupakan suatu ketahanan nasional di bidang ideologi, yang tidak akan berpaling kepada ideologi lain.

Dari renungan tersebut menurut Presiden juga dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang menjamin terwujudnya kemajuan, kesejahteraan dan keadilan benar2 harus segera terasa hasilnya demi terwujudnya masyarakat yang kita cita2kan. Atau setidak-tidaknya ada tanda2 yang menjamin ke arah itu.

Tantangan yang kita hadapi, menurut Presiden, adalah mempercepat jalannya pembangunan, baik untuk mencapai cita2 bangsa maupun dalam rangka peningkatan ketahanan nasional kita. Percepatan pembangunan ini mutlak, mengingat waktu dan desakan perobahan2 cepat yang terjadi baik di dalam negeri maupun dunia umumnya.

Hal2 yang pokok dari renungan sejarah tadi, juga mengenai keberhasilan kita menegakkan kemerdekaan nasional serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, justru dalam keadaan masyarakat Indonesia yang serba majemuk.

Pokok kedua mengenai kunci pokok keberhasilan yang bersumber pada kebulatan tekad dan kesetiaan kita kepada dasar, cita2 serta tujuan kemerdekaan, ketiga mengenai ujian yang berulang kali terjadi terhadap Pancasila dan UUD ’45, keempat mengenai kemampuan mengenyampingkan kepentingan pribadi golongan dalam menghadapi bahaya, dan kelima mengenai pembangunan yang harus segera dapat dirasakan hasilnya.

Dalam pidatonya selama 2 jam, Presiden Soeharto telah mengajak rakyat Indonesia untuk merenungkan pengalaman sejarah Indonesia selama 30 tahun, mengungkapkan berbagai masalah yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi maupun sosial bangsa.

Politik Luar Negeri

Mengenal politik Luar Negeri kita yang bebas aktif, dikatakan Presiden bahwa hal itu merupakan salah satu hasil bangsa kita yang besar, Politik tersebut temyata makin disadari kebenarannya oleh bangsa2lain pada saat dunia mengalami perobahan yang cepat sekarang ini.

“Tampaknya, dalam masa yang akan datang politik luar negeri yang bebas aktif akan menjadi pola hubungan luar negeri antar bangsa,” katanya.

Presiden Soeharto juga menegaskan kembali tentang prinsip Indonesia untuk mengakui hak bangsa lain guna mengatur rumah tangga dan urusan mereka sendiri, tanpa campur tangan dari luar. Sikap demikian seharusnya pula berlaku timbal balik.

Dalam hal ini dinyatakan meskipun bangsa Indonesia tidak menghendaki komunisme di Indonesia, tapi tidak berarti bermusuhan dengan bangsa2 lain yang menganut pandangan hidup komunisme saat prinsip tadi dijelaskan.

Hubungan diplomatik dengan RRC sampai sekarang masih suIit dicairkan, menurut Presiden sehubungan dengan pendirian Indonesia bahwa negara2 lain yang terang2an menyokong bangkitnya kembali PKI adalah merupakan tindakan yang mencarnpuri urusan dalam negeri kita dan bersikap tidak bersahabat.

Pembinaan Ketahanan Nasional

Mengenai masalah ketahanan nasional yang pembinaannya meliputi bidang2 idiologi, sosial budaya, dan hankam, dikatakan sama sekali bukan suatu penyusunan kekuatan untuk menghadapi atau menyerang bangsa lain.

Pembinaan ketahanan nasional adalahjawaban terhadap setiap kemungkinan bahaya atau gangguan terhadap negara dan perjuangannya, termasuk kemungkinan bahaya dari luar yang mungkin berupa perembesan ideologi, subversi dan berbagai macam kegiatan terselubung lainnya.

Ketahanan nasional di bidang politik, menurut Presiden Soeharto akan semakin kuat kalau kita memiliki kesadaran yang tinggi bahwa penggunaan hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggungjawab.

Peristiwa “Malari” disebutkan sebagai contoh dari penggunaan hak demokrasi yang tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini ditegaskan kebebasan dan kritik harus dilakukan untuk mengadu alasan guna mencari kebenaran dalam musyawarah, bukannya adu kekuatan yang akan menimbulkan kekaeauan dan persatuan nasional yang terpecah.

Penyelesaian UU tentang Parpol dan Golkar, pelaksanaan Pemilu dalam tahun 1977 serta penyiapan RUU-nya adalah merupakan pembangunan ketahanan politik. Sehubungan dengan pelaksanaan Pemilu yang akan datang, Presiden mengemukakan bahwa masih banyak usaha perbaikan yang harus dilakukan agar pelaksanaan pemilu tersebut makin demokratis, makin menjamin diwakilinya semua lapisan masyarakat dan makin memperkuat persatuan nasional.

Dalam rangka pembinaan ketahanan nasional di bidang sosial budaya yang berkisar pada pembinaan kehidupan yang rukun dan tetap berkepribadian dalam masyarakat kita yang majemuk, Presiden Soeharto mengusulkan mengenai arti dari terbentuknya Majelis Ulama baru2 ini.

Senam Pagi

Presiden Soeharto juga menyerukan agar mulai 17-8-1978 dilakukan senam pagi Indonesia oleh masyarakat secara teratur. Hal ini penting untuk membangun jiwa raga yang berkaitan dengan pembinaan ketahanan nasional di bidang sosial budaya. Dep. P & K menurut Presiden segera akan menggerakkan senam pagi itu, antara lain dengan mewajibkan sekolah2 melakukan senam pagi sebelum pelajaran dimulai. “Gerakan2 dalam senam pagi itu digali dari sumber2 kebudayaan kita sendiri, diarahkan untuk pertumbuhan diri, serta disesuaikan dengan keperluan bangsa kita yang terus membangun ini,” kata Presiden Soeharto.

Mengenai ketahanan nasional di bidang Hankam, Presiden menegaskan perlunya pengembangan sistim senjata sosial yang saat ini lebih coeok bagi bangsa Indonesia disamping pengembangan sistim senjata teknologi. Juga harus dikembangkan pembinaan teritorial sehingga rakyat mampu menghadapi setiap gangguan yang muncul.

Perkembangan Ekonomi Indonesia

Dalam perkembangan ekonorni Indonesia yang merupakan bagian akhir pidato itu, Presiden Soeharto mengemukakan tentang perbedaan yang menyolok keadaan pada saat sebelum dilaksanakannya REPELITA dibanding kemajuan2 yang telah dieapai sekarang.

Berbagai hasil pembangunan yang menggunakan beaya negara seperti prasarana, proyek2 Inpres, subsidi pupuk dsb. telah dirasakan manfaatnya. Kemampuan swasta nasional meningkat sehingga dalam 7 tahun terakhir sebanyak 2.250 proyek PMDN dengan modal investasi Rp 1,5 triliun telah disetujui Pemerintah. Sementara dana masyarakat yang tersimpan di bank saat ini mencapai Rp 375 milyar.

Presiden Soeharto mengungkapkan pula mengenai masalah kesulitan keuangan Pertamina dalam hubungannya dengan kepercayaan luar negeri mengenai masa depan ekonomi Indonesia, yang dalam hal ini kepercayaan tersebut temyata tidak goyah. Dari persoalan Pertamina itu dapat diambil pelajaran bahwa kita harus mencegah pengembalian keputusan menerima pinjaman dan membangun proyek berdasarkan “untung-untungan” saja.

Ditegaskan kembali oleh Presiden Soeharto, tidak ada soal politik di balik kesulitan Pertamina serta langkah2 yang diambil pemerintah untuk mengatasinya.

“Langkah2 yang diambil oleh Pemerintah adalah semata-mata untuk membantu menyehatkan kembali keuangan Pertamina,” katanya.

Presiden mengemukakan bahwa dalam perkembangan ekonomi Indonesia maka kita pun mulai meletakkan dasar2 bagi keadilan sosial, merintis perataan pembangunan dan terwujudnya keadilan sosial, danjuga usaha2 untuk mewujudkan secara nyata perataan pembangunan di seluruh wilayah negara ini yang utuh dan bersatu.

Pada akhir pidatonya, Presiden Soeharto minta agar meskipun kita boleh bergembira melihat hasil jerih payah kita, tetapi tidak boleh lengah dan berpuas diri, hidup boros dan bermalas-malasan.

Kegembiraan tidak hams berarti hilangnya keprihatinan. Keadaan dunia masih penuh dengan segala kemungkinan berbagi krisis belum habis. Kedalam kita hams memperkokoh stabilitas, meluaskan pembangunan dan makin menonjolkan wajah keadilan sosial. “Untuk itu bukan saja kita harus memperbesar kemampuan lahiriah, akan tetapi hams mempertebal semangat dan teguh memegang arah pembangunan yang kita cita2kan.” Demikian Presiden Soeharto.

Perlu diketahui bahwa dalam pembukaan masa sidang DPR 1975/1976 itu juga hadir delegasi Parlemen Iran sebanyak 9 orang, para pelajar, guru dan lurah teladan. (DTS).

Sumber: SUARA KARYA (18/08/1975)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 655-659.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.