PRESIDEN SOEHARTO MENYERUKAN AGAR DIHENTIKAN KEBIASAAN MEMBERI KIRIMAN KEPADA PEJABAT-PEJABAT [1]
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto untuk kesekian kalinya menyerukan agar dihentikan kebiasaan untuk memberi kiriman kepada pejabat-pejabat menjelang lebaran yang akan datang, sebab sangat terang mereka tidak tergolong anggota masyarakat yang memerlukan bantuan.
Dalam pidatonya pada peringatan Nuzulul Qur’ an di Mesjid Istiqlal, Jakarta, Senin malam, Kepala Negara secara keras memperingatkan, bahwa dalam rangka pola hidup sederhana, masih tetap berlaku larangan bagi pejabat untuk menerima kiriman-kiriman semacam itu.
“Lebih-lebih lagi, karena dalam praktek, kiriman-kiriman itu telah melampaui sifat sifat silaturahmi belaka.”
Presiden menganjurkan, agar kiriman-kiriman yang sedianya diberikan kepada pejabat-pejabat akan lebih berguna dan berpahala jika diberikan kepada fakir miskin, rumah-rumah yatim piatu, panti-panti asuhan dan sebagainya.
“Dengan sikap yang makin memperhatikan orang-orang yang masih serba kekurangan, berangsur-angsur bangsa Indonesia akan dapat mencapai tujuan pembangunan yaitu menciptakan suatu masyarakat yang makmur, lahir dan batin, adil dan merata.”
Didasarkan pada Kewajiban
Ketika menyinggung masalah fakir miskin, presiden minta agar ummat Islam menyadari bahwa untuk menghilangkan kemiskinan bukan saja didasarkan karena belas kasihan, tetapi harus didasarkan kepada kewajiban.
Umat Islam harus merasa wajib membantu untuk menghilangkan kemiskinan dan kekurangan. Karena itu menyantuni fakir miskin, membantu anak yatim piatu dan menghilangkan kepincangan-kepincangan social lainnya adalah bukan hanya kewajiban negara, tetapi juga kewajiban ummat beragama.
Presiden
Presiden Soeharto menyatakan, Yayasan “Dharma Bhakti Sosial” (Dharmais) yang dipimpinnya dalam membantu fakir miskin bukanlah didasarkan kepada belas kasihan, tetapi kepada kewajiban.
Dalam usaha membantu ini bukanlah berarti kita membiarkan mereka tetap tidak mampu berdiri sendiri, melainkan justru agar mereka dapat berdiri sendiri, dapat hidup sendiri dengan usaha yang patut hingga berangsur-angsur mereka tidak lagi menjadi orang yang kekurangan.
Harus Punya Fungsi Sasial
Presiden menyatakan, dalam hidup bermasyarakat sangat jelas, bahwa orang dapat mengumpulkan harta benda atau mencapai keberhasilan karena bantuan orang lain. Karenanya maka harta benda hendaknya tidak hanya dinikmati oleh orang yang memiliki saja, tetapi harta benda itu seharusnya juga dipergunakan untuk menolong orang yang memerlukan, ialah fakir miskin, anak yatim piatu dan sebagainya.
“Harta bendapun harus mempunyai fungsi sosial,” kata presiden yang menambahkan, bahwa inilah sebabnya mengapa didalam ajaran Islam, orang yang mempunyai kekayaan tertentu dari perdagangan, pertanian, jasa dan sebagainya diwajibkan membayar zakat.
Zakat berarti “pembersihan” dan memberikan zakat dari benda itu adalah miliknya fakir miskin. Juga zakat berarti “tambah”, karena dengan berzakat, orang akan senang kepadanya dan akan membantu usahanya, dan dengan itu akan makin ‘bertambah” kekayaan orang itu.
Selain itu dalam ajaran Islam ada juga infaq, yang berarti membelanjakan harta benda itu untuk kepentingan sesama ummat manusia. Dalam ajaran Islam orang juga disunatkan memberikan sedekah, yang berarti melakukan kebenaran karena memberikan sedekah adalah salah satu tindakan terpuji.
Presiden menyatakan masih banyak cara-cara yang dianjurkan Islam yang menekankan pentingnya memberikan sebagian dari pada harta benda yang dimiliki untuk menolong sesama umat manusia yang sedang kekurangan dan kemiskinan.
“Untuk melaksanakan ajaran Islam kita jangan berbuat setengah-setengah. Kita bertekad untuk memberantas kekurangan dan kemiskinan dengan terus mengadakan pembangunan”.
Amalkan Al-Quran
Menyinggung peringatan Nuzulul Qur’ an, presiden menegaskan Qur’ an yang menjadi petunjuk bagi umat manusia jelas bukan hanya untuk dibaca saja meskipun dengan suara yang merdu. Kita hams memahami isi Al-Qur’ an dan mengamalkannya.
Bagi bangsa Indonesia yang sebagian besar terdiri dari umat Islam, maka pengamalan ajaran Al-Qur’ an itu harus merupakan dorongan yang memberikan arah kepada usaha bersama yang kini sedang dilakukan, ialah pembangunan dalam segala bidang untuk mencapai kemakmuran lahir dan batin, materiil dan spirituil, jasmani dan rohani, yang adil dan merata. Demikian Presiden Soeharto. (DTS)
Sumber: ANTARA (23/09/1975)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 730-732.