HARI INI DIBUKA, KTT KE-6 ORGANISASI KONFERENSI ISLAM, PRESIDEN SOEHARTO TIBA DI DAKAR

HARI INI DIBUKA, KTT KE-6 ORGANISASI KONFERENSI ISLAM, PRESIDEN SOEHARTO TIBA DI DAKAR

 

 

 

Jakarta, Pelita

Presiden Soeharto dan rombongan tiba di Dakar, Senegal, Minggu, petang kemarin dari Dar es-Salaam Tanzania, untuk memimpin langsung delegasi RI pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-6 Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang akan berlangsung mulai Senin ini hingga Kamis (12/12).

Dari Dakar, wartawan Pelita H. Azkamlin Zalni melaporkan tengah malam WIB bahwa kedatangan Presiden Soeharto dan rombongan di bandara internasional Dakar disambut oleh Presiden Senegal dan Ny. Elizabeth Diouf dengan upacara kebesaran militer.

Pesawat DC-I 0 garuda yang membawa rombongan Kepala Negara mendarat sekitar pukul 15.00 (22.00 WIB), setelah terbang melintasi benua Afrika dari pertengahan pantai timur ke ujung barat laut melewati angkasa Burundi, Zaire, Kongo, Kamerun, Nigeria, Ghana, Burkina, dan Guinea.

Di Dakar,telah lebih dulu tiba Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, Ditjen HELN Deplu Wisher Louis, dan Kepala PTRI di PBB New York Nana Sutresna yang kemudian bergabung dalam delegasi RJ. Menteri Agama H. Munawir Sjadzali merupakan salah seorang Wakil Ketua Delegasi RI bersama Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Drs H.Moerdiono.

Presiden Ny. Tien Soeharto dan rombongan meninggalkan Dar es-Salam pagi hari pukul 09.45 waktu Tanzania (13.45 WIB), setelah mengakhiri kunjungan kenegaraan di Tanzania sejak Kamis pagi (5/ 12). Keberangkatan Kepala Negara dan rombongan dilepas di bandara Dares-Salaam oleh Presiden dan Ny. Sitti Mwinyi serta ribuan masyarakat Tanzania dengan penuh kehangatan seperti pada waktu menyambut kedatangan.

Senegal, tuan rumah KTT ke- 6 OKI, merupakan negara republik yang luasnya 75.750 mil persegi penduduk sekitar 7,8 juta j iwa, 92 persen di antaranya muslim, negara bekas jajahan Perancis ini termasuk negara berkembang dengan pendapatan per kapita sekitar 400 dolar AS setahun.

Organisasi Konferensi Islam bukan sesuatu yang asing lagi bagi Senegal, karena Dakar pada tahun 1978 pernah menjadi tuan rumah konferensi tingkat menteri luar negeri. Bahkan salah seorang putra Senegal,Arnadou Karim Gaye, pernah menjabat Sekjen OKI pada tahun 1975 hingga 1979.

 

Lahirnya OKI

Organisasi Konferensi Islam (OKI) dibentuk atas prakarsa Raja Faisal (Arab Saudi) dan Raja Hasan II (Maroko), dengan panitia persiapan yang terdiri atas Arab Saudi, maroko, Malaysia, Niger, Pakistan, dan Somalia. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang pertama berlangsung di Rabat, ibu kota Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969. Agenda KTT waktu itu meliputi malapetaka yang menimpa Masjidil Aqsa dan persoalan kota suci AI-Quds.

Konferensi pertama yang merupakan titik awal pembentukan Organisasi Konferensi Islam itu menghasilkan Deklarasi Rabat, yang disusun berdasarkan keyakinan agama Islam, dengan menghonnati Piagam PBB serta Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, meletakkan prinsip-prinsip mengenai kerja sama di bidang sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kerohanian yang berdasarkan ajaran Islam, serta prinsip mengenai usaha penyelesaian sengketa secara damai.

Di samping itu, KTT Rabat 1969 menghasilkan pula satu reso lusi yang menetapkan diselenggarakannya pertemuan pada menteri luar negeri di Jeddah, Arab Saudi, pada bulan Maret 1970. Konferensi tingkat menlu itu di langsungkan untuk meninjau pelaksanaan Deklarasi Rabat dan mempelajari kemungkinan meletakkan dasar bagi pembentukan suatu sekretariat tetap sebagai penghubung negara-negara peserta.

Sejak itu berlangsung berbagai pertemuan, baik dalam tingkat komisi, tingkat menteri luar negeri ke-3 di Jeddah tanggal 29 Februari hingga 4 Maret 1972 menghasilkan Piagam Organisasi Konferensi Islam dan memutuskan dibentuknya Sekretariat Jenderal OKI yang berkedudukan di Jeddah.

OKI dibentuk untuk sejumlah tujuan. Yang utama adalah meningkatkan solidaritas di antara negara-negara anggotanya, serta mengkonsolidasikan kerja sama di antara anggotanya dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan bidang­ bidang kegiatan penting lainnya. OKI juga berupaya melenyapkan segregasi rasial, diskriminasi, dan melenyapkan kolonialisme dalam segala bentuknya.

Selain itu, organisasi ini juga bertujuan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mendukung perdamaian serta keamanan internasional yang berdasarkan atas keadilan.

Tujuan lainnya adalah mengkoordinasikan usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat suci bagi umat Islam, mendukung dan membantu perjuangan rakyat Palestina dalam memperoleh hak-hak dan membebaskan tanah air mereka. Juga untuk memperteguh perjuangan seluruh kaum muslimin dengan maksud melindungi kehormatan, kemerdekaan, serta hak-hak nasional mereka.

 

Partisipasi Aktif

Keanggotaan OKI terbuka bagi negara-negara Islam dalam arti secara konstitusional Islam, serta negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Artikel VIII Piagam OKI mengenal keanggotaan menyebutkan, anggota organisasi ini adalah negara-negara yang ikut ambil bagian dalam KTT Rabat 1969 dan KTM di Jeddah. Karachi, serta penandatanganan Piagam.

Pada tahun-tahun awal, kedudukan Indonesia di OKI dipersoalkan oleh kalangan OKI sendiri ataupun di dalam negeri. Pemerintah Indonesia menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia bukanlah negara Islam secara konstitusional, sehingga tidak ikut menandatangani Piagam.

Meskipun demikian, sebagai negara dengan mayoritas penduduk menganut agama Islam, bahkan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia mengikuti konferensi-konferensi OKI sejak awal, dan ikut serta dalam berbagai kegiatan organisasi tersebut.

Kedudukan Indonesia dalam OKI sampai sekarang adalah sebagai partisipasi aktif, namun memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan negara-negara anggota lainnya.

Pedoman Pokok Delegasi RI ke Konferensi Islam antara lain menyebutkan bahwa sebagai negara yang berfalsafah Pancasila, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia patut menyambut positif setiap usaha untuk meningkatkan derajat, status sosial, kesejahteraan serta kemakrnuran limat Islam seperti yang menjadi tujuan umum Konferensi Islam.

Terutama dalam hal-hal yang bermanfaat bagi usaha-usaha pembangunan dalam segala bidang yang merupakan program utama Pemerintah Republik Indonesia. Selain untuk memperoleh manfaat langsung bagi kepentingan nasional Indonesia, keikutsertaan Indonesia diharapkan dapat menggalang dukungan bagi kepentingan Indonesia di forum-forum internasional lainnya.

Tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang tertera di dalam Piagam OKI menunjukkan semangat yang sejalan dengan Dasasila Bandung dan prinsip -prinsip Gerakan Nonblok, khususnya yang menyangkut pengembangan solidaritas dan tekad untuk menghapuskan segala bentuk kolonlalisme serta sikap tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing anggotanya.

 

Peranan Indonesia

Sejak awal pembentukannya, telah sering sekali organisasi ini melangsungkan konferensi, baik tingkat menteri luar negeri (KTM) maupun tingkat tinggi (KTT).

Mulai dari KTM yang pertama di Jeddah bulan Maret 1970, yang kedua juga tahun itu (Desember) di Karachi (Pakistan), selanjutnya di Jeddah lagi (Maret 1972), Benghazi (Libya, Maret 1973), Kuala Lumpur (Malaysia, Juni 1974), Jeddah lagi (Juli 1975), Dakar (Senegal, April 1978), Fez (Maroko, Mei 1979), Islamabad (Pakistan, Mei 1980), Baghdad (Irak, Juni 1981), Niamey (Niger, Agustus 1982), Dhaka (Bangladesh, Desember 1983), Sana’a (Republik ArabYanian, Desember 1983) dan seterusnya.

Konferensi tingkat tinggi sudah lima kali, berturut-turut yang pertama di Rabat (Maroko, September 1969), lalu Lahore (Pakistan, Februari 1974), Mekkah dan Tharif (Arab Saudi, Januari 1981), Casablanca (Maroko, Januari 1984), dan Kuwait (tahun 1987).

Dari lima KTT OKI yang diselenggarakan , sudah dua kali Indonesia mengirim delegasi yang dipimpin oleh wakil presiden, yaitu Wapres Adam Malik ke KIT ke-4 di Casablanca dan Wapres Umar Wirahadikusumah ke KTT ke-5 di Kuwait.

Sekarang, pada KTT ke-6 di Dakar, Senegal, Presiden Soeharto sendiri yang memimpin langsung delegasi Indonesia. Para wakil ketua delegasi RI kali ini adalah Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moerdiono, dan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali.

Indonesia, sebagai partisipasi aktif, cukup banyak berperan dalam OKI. Pada KTT ke-4 di Casablanca, Indonesia mengambi Iprakarsa untuk mengajukan rancangan resolusi tentang perlunya meninjau kembali mekanisme dan sarana OKI, mengingat semakin meningkatnya kegiatan organisasi tersebut.

Dalam bidang politik misalnya, Indonesia ikut berperan dalam upaya menemukan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi umat Islam seperti masalah Al-Quds , Palestina, Afghanistan ,serta sengketa Iran-Irak. Bahkan Indonesia menjadi anggota Komite Al-Quds yang diketuai Raja Hassan II dari Maroko dan beranggotakan 15 negara.

Selain itu, Indonesia juga mendukung resolusi KTT Casablanca mengenai penerimaan kembali Mesir dalam lingkungan OKI.

Di bidang ekonomi, Indonesia selain aktif menyumbangkan pikiran dan gagasan bagi keija sama ekonomi antar negara Islam, juga telah menarik manfaat dari dana­ dana yang tersedia dalam rangka Dana Solidaritas Islam, Bank Pembangunan Islam, dan sumber-sumber dana lain dari negara-negara Arab.

Sedangkan di bidang budaya, pemugaran Masjid Demak di Jawa Tengah berhasil masuk sebagai bagian program kegiatan Komisi Peninggalan Kebudayaan OKI, dengan dana dari Dana Solidaritas Islam. Seorang wakil Indonesia terpilih menjadi anggota komisi tersebut.

Orang Indonesia lainnya, Prof Baiquni ,juga duduk sebagai anggota Dewan Dana Islam bagi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan (ISFTAD), di samping sebagai anggota Komisi Internasional Peninggalan Kebudayaan Islam. Wakil Indonesia lainnya, Suhanda Ijas, memperoleh kepercayaan sebagai Wakil Ketua Komisi Bulan Sabit Islam Internasional.

 

Sekretaris Jenderal

Hingga sekarang, OKI sudah enam kali mernilih sekretaris jenderal. Sekjen OKI yang pertania adalah mantan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman Putra, 1970-1973.

Sekjen yang kedua Hassan Tuhami dari Mesir (1974-1975), yang ketiga Amadou Karim Gaye dari Senegal (1975-1979) kemudian Habib Chatti dari Tunisia (1979-1984), S.S. Pirzada dari Pakistan (1984-1987),dan sejak 1987 hingga sekarang adalah Hamid AI Gabid dari Arab Saudi. (SA)

 

Sumber : PELITA (09/12/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 342-346.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.