BEDA, UTANG LN RI DENGAN AMERIKA LATIN, AFRIKA

BEDA, UTANG LN RI DENGAN AMERIKA LATIN, AFRIK

 

 

Berlin, Pelita

PRESIDEN SOEHARTO menyatakan, utang luar negeri Indonesia jumlahnya mang besar, tetapi hal itu berbeda dengan utang negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Sehingga tidak perlu dikhawatirkan kalau utang itu akan memberatkan generasi mendatang.

Presiden menyatakan hal itu ketika berbicara di depan sekitar 500 masyarakat Indonesia di gedung KBRI, Bonn Kamis malam (4/7) (Jumat dini hari WIB).

Wartawan Pelita H. Azkarmi Zaini melaporkan setibanya di Berlin kemarin, Kepala Negara berbicara tanpa teks sekitar 45 menit, menjelaskan panjang lebar mengenai hasil-hasil pembangunan di berbagai bidang yang telah dicapai Indonesia Pelita demi Pelita.

Menurut Presiden, utang Indonesia memang banyak, namun merupakan utang kepada negara-negara IGGI dan Bank Dunia. Semua utang itu dilakukan berdasarkan program, dan Indonesia hanya menerima pinjaman atas dasar persyaratan yang ditentukan Indonesia sendiri. Antara lain sifatnya jangka panjang, sekitar 25-30 tahun, tenggang waktu (grace period) 7-10 tahun, dan bunganya rendah, yaitu maksimal hanya 3,5 persen setahun.

Dengan adanya tenggang waktu yang cukup panjang itu, maka apabila suatu proyek bantuan luar negeri itu selesai dalam tiga tahun misalnya, hasilnya bisa dinikmati selama 4 tahun, dan kemudian baru mulai membayarnya.

“Jadi, lain dengan keadaan di negara-negara Amerika Latin dan Afrika, karena mereka menerima saja pinjaman dengan persyaratan yang bagaimanapun. Akibatnya, ketika pinjaman yang digunakan itu belum menghasilkan, mereka sudah harus membayar kembali,” jelas Presiden.

 

Tinggal 45 Miliar Dolar AS

Setelah menjelaskan bahwa proyek-proyek yang dibangun dengan pinjaman luar negeri tersebut merupakan aset tersendiri. Kepala Negara mengharapkan agar utang luar negeri tersebut tidak perlu dikhawatirkan akan memberatkan generasi mendatang. “Generasi” yang akan datang nanti tinggal mengurus saja dan menikmati kemudian membayar kernbali dengan hasil-hasil produknya.”

Presiden mengungkapkan, komitmen seluruh pinjaman luar negeri Indonesia sekarang sudah mencapai 94 miliar dolar AS, tapi yang terpakai baru 73 rniliar dolar AS. Berarti masih ada 21 miliar dolar AS yang belum kita pakai karena proyek­ proyeknya belum selesai, dan kita belurn berkewajiban membayarnya.

“Dari yang 73 miliar dolar AS itu, yang tetap kita bayar kembali sudah 28 miliar dolar AS. Berarti sebetulnya utang kita tinggal 45 miliar dolar AS. Dengan seluruh aset yang ada itu sebetulnya kalau kita mau saja menjualnya, sudah cukup untuk melunasi seluruh sisa utang.Tapi tentu saja bukan itu maksudnya. Kita ingin memanfaatkannya bagi pembangunan, untuk mencapai Kebangkitan nasional ke-2, untuk mengejar ketertinggalan kita,” katanya.

Dijelaskan, Indonesia telah bertekad menggunakan strategi pembangunan jangka panjang yang kedua nanti untuk melaksanakan Kebangkitan Nasional ke-2. Indonesia harus mengejar ketertinggalan agar mempunyai kedudukan yang sama dengan negara-negara maju.

 

Kemiskinan  Sudah Berbeda

Setelah menguraikan panjang lebar mengenai berbagai hasil pembangunan bidang ekonomi, Presiden mengakui bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan masih besar. Karena meskipun tinggal 20 persen, angka itu dihitung dari jumlah seluruh penduduk Indonesia yang hampir 180 juta.

Namun, rakyat yang masih dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan sekarang ini sudah jauh berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Pada masa itu, rakyat yang miskin itu untuk dapat makan satu kali sehari saja sudah susah, apalagi mempunyai pakaian yang layak. Karena itu, 20 tahun yang lalu pakaian rombengan masih laku.

Sekarang, meskipun masih termasuk di bawah garis kemiskinan, sudah bisa makin kenyang tiga kali sehari dan pakaiannya pun sudah lebih baik, bahkan sudah mampu memilih.

 

Beruntung

Dalam menguraikan pembangunan bidang politik, Presiden Soeharto menyatakan, bangsa Indonesia beruntung karena para pendiri Republik ini, dalam menyusun UUD 1945 , menetapkan kerjasama lembaga-lembaga negara sedemikian rupa sehingga stabilitas pemerintah dapat terjamin.

Dikatakan, sesuai dengan UUD 1945, sebagaimana yang kita terapkan, MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan memilih Presiden sebagai mandataris MPR, kemudian mempercayakan kepada Presiden/Mandataris, yang dibantu Wakil Presiden, untuk melaksanakan GBHN itu.

Dalam melaksanakannya, Presiden dikontrol oleh DPR. Tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR dan DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden. Sebaliknya Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Kalau ada pertentangan (antara DPR dan Presiden- Red), barulah diselenggarakan Sidang Istimewa MPR.

“Apa yang dikontrol oleh DPR? Yang dikontrol seharusnya adalah dalam rangka Presiden/Mandataris melaksanakan GBHN. Bukan tugas-tugas yang lain,” ujar Presiden, yang selanjutnya menyatakan di sinilah sistem tersebut menjamin adanya pemerintahan yang stabil selama lima tahun, yang tidak ada perubahan sepanjang Presiden/Mandataris melaksanakan GBHN.

Acara pertemuan dengan masyarakat lndonesia di Jennan itu dihadiri juga oleh sejumlah warga Jennan yang bersimpati dan akrab dengan Indonesia. Di hadapan Presiden dan Ny.Tien Soeharto beserta rombongan dan sekitar 500 hadirin, malam itu disajikan juga tari dan gamelan Bali yang dimainkan sepenuhnya oleh warga Jerman.

 

Disetujui Beli 5 Kapal

Sementara itu Menko Ekuin/Wasbang Radius Prawiro, menjawab pertanyaan wartawan malam itu menjelaskan, pada petang harinya Pemerintah Jerman telah menyetujui pemberian kredit sekitar 371 juta Mark, termasuk kredit lunaknya, untuk membeli lima kapal penumpang yang akan dipergunakan memperkuat annada perhubungan laut Indonesia. Menurut Radius, perjanjian antara PT Pelni selaku pembeli dengan perusahaan Jerman yang akan membangun lima kapal tersebut sudah rampung, dan kini bahkan pemberian kreditnya juga sudah disetujui Pemerintan Jerman.

Selain lima kapal penumpang itu, Indonesia juga akan membeli sejumlah kapal keruk dari Jerman, berhubung kapal-kapal keruk yang kita miliki sudah tua sehingga perlu dilakukan peremajaan untuk mengeruk pelabuhan-pelabuhan dan sungai-sungai di tanah air.

Mengenai pertemuannya dengan pihak Kamar Dagang dan Industri Jerman yang berlangsung di Bonn Kamis petang, Radius mengatakan banwa Indonesia berusaha menggalakkan penanaman modal swasta asing untuk memproduksi barang-barang ekspor.

“Pembicaraan tadi sangat menarik. Kita bagikan kepada mereka banyak bahan, terutama mengenai daftar investasi sehingga mereka bisa melihat sendiri posisi peringkat Jennan. Juga kita bagikan booklets mengenai informasi deregulasi dan perkembangan ekonomi, pariwisata,dan perdagangan kita,” ujar Radius.

Ketika ditanya, bagaimana tanggapan para pengusaha Jerman itu, Radius mengatakan, “Investor tidak akan cepat menjawab. Lain dengan pertanyaan wartawan, yang harus cepat dijawab.”

Menurut Radius, kepada para pengusaha Jerman tersebut juga dijelaskan, tahun 1990 penanaman modal asing yang sudah mendapat persetujuan Pemerintah Indonesia mencapai 8,75 miliar dolar AS. Bahkan tahun 1991, hinggaJuni, sudah disetujui pula lebih dari enam miliar dolar AS.

“Jadi, mereka tentu akan bertanya dan kemudian melihat sektor apa saja yang menarik, bagi mereka untuk menanam modal di Indonesia. Harapan kita, mudah­ mudahan mereka jadi terangsang untuk meningkatkan penanaman modal Jennan,” ujar Railius.

 

Meninggalkan Bonn

Jumat pagi kemarin, Presiden Soeharto dan rombongan mengakhiri kunjungan kenegaraannya di Bonn dan sejak petang hari sudah berada di Berlin.

Presiden dan Ny. Tien Soeharto berpamitan kepada Presiden dan Ny. Richard von Weizsaecker serta para pejabat tinggi Pemerintah Jemmn,di Istana Kepresidenan, Villa Hammerschmidt, dan dilepas dengan upacara kebesaran.

Dari Bonn, Presiden dan sebagian rombongan menaiki pesawat militer GAF­ VFW 614 dari lapangan terbang militer Koln menuju Oldenburg, sementara Ny. Tien Soeharto dan sebagian anggota rombongan lainnya diterbangkan dengan pesawat khusus DC-I 0 Gamda langsung ke Berlin.

Di Oldenburg, Presiden disambut oleh Wakil Perdana Menteri Negara Bagian Niedersachen, Gerhard Glogowski, dan selanjutnya dengan menumpang helikopter Super Puma  langsung menuju Lathen. Dengan diantar pula oleh Menristek dan Transportasi Nied ersachen, Peter Fischer dan istri, Presiden Soeharto meninjau pusat percobaan kereta monorel Transrapid/Magnetic Train.

Dari sana, juga dengan helikopter yang sama, selanjutnya rombongan menuju Papenburg, santap siang di sana, selanjutnya meninjau galangan kapal Jos L. Meyer, tempat kapal pesanan Indonesia dibuat.

 

Galangan Kapal Jos L. Meyer

Galangan kapal yang didirikan oleh Willm Rolf Meyer, 1795 itu, dewasa ini memiliki fasilitas dok termodem di Eropa dan salah satu yang terbesar di dunia.

Bangunan dok yang panjangnya 358 meter dan Iebar 39 meter dilengkapi kran dengan daya angkat 600 ton. Seluruh kegiatan dilakukan komputer dan memiliki 1.800 karyawan.

Kapal penumpang terbesar yang pernah diproduksi oleh galangan kapal ini adalah Horizon dan Zenith. Kedua jenis kapal pesiar mewah tersebut masing-masing panjangnya 208 meter, bobot 47.000 GT, dan dengan kecepatan 21,4 knot.

Indonesia telah memesan 10 kapal penumpang sejerus kapal “Kerinci” berukuran 14.000 GT, empat kapal berukuran sama dan lima kapal berukuran 6.000 GT. Pembangunan kapal-kapal penumpang yang akan dioperasikan di perairan Indonesia tersebut dibiayai dari kredit pemerintah Jerman, program kreditan Stalt Fur Wiederaufbau  (KFW).

Selain kapal penumpang, galangan Jos L. Meyer juga memproduksi kapal tanker pengangkut gas, pengangkut bahan kimia, dan ternak.

 

Di Berlin

Setelah mengunjungi perusahaan galangan kapal di Pepenburg, rombongan Presiden kembali ke Oldenburg, kemudian melanjutkan penerbangan menuju Berlin. Tiba di bandara Tegel, Berlin, petang hari, Kepala Negara disambut oleh Gubernur Berlin dan Ny. Diepgen, Konjen RI di Berlin dan Ny. Oetaryo, serta Ketua Protokol Senat Berlin, Ny. Anna Christina Peters. Presiden dan rombongan akan menginap di Hotel Kempinski Berlin, hingga Sabtu petang.

Pada saat berita ini diturunkan, menjelang tengah malam WIB, Presiden dan Ny. Tien Soeharto serta rombongan sedang bersiap-siap menuju Schloss Charlottenburg. Di sini Presiden akan melakukan pembicaraan dengan Gubernur Ber­ lin, Diepgen.

Menurut jadwal acara, seusai pembicaraan Presiden dan Ny. Tien Soeharto menandatangani “Buku Emas Kota Berlin,” menyerahkan secara simbolis komodo kepada Gubernur Berlin, dan dijamu makan malam di ruang Eichenalerie.

Hari Sabtu ini acara bebas hingga tengah hari. Sehabis makan siang, Presiden dan Ny. Tien Soeharto dijadwalkan meninjau Gerbang Brandeburg, mengunjungi Museum Pergamon dan melewati bekas Tembok Berlin yang bersejarah itu. Petang nanti seluruh rombongan meninggalkan Berlin menuju Frankfurt, pusat keuangan dan perbankan terbesar di Jerman. (SA)

 

Sumber : PELITA (06/06/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 435-440.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.