Editorial : PRESIDEN KE JERMAN

Editorial : PRESIDEN KE JERMAN

 

 

Jakarta,Media Indonesia

Malam tadi Presiden dan Ibu Tien Soeharto terbang menuju Jerman. Sungguh merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Presiden baru seminggu berada di tanah air, setelah menunaikan rukun Islam kelima yang cukup melelahkan.

Bisa disirnpulkan betapa teguh kesehatan Pak Barto. Kebanggaan lainnya sepertijuga dikatakan pengamat masalah internasional Juwono Sudarsono, Presiden adalah kepala negara pertama Asia yang datang ke Jerman, setelah negara tersebut bersatu.

Dengan demikian perlawatan yang jelas akan cukup melelahkan itu, karena Presiden juga akan ke Berlin ,kota yang baru saja diputuskan akan menjadi ibu kota negara Republik Federal Jerman, setelah diterima Presiden Richard von Weizsaecker dan Kanselir Helmut Kohl di Bonn. Bahkan Presiden juga meninjau Lathen, kota yang menjadi pusat percobaan pembangunan kereta monorel. Lalu kota pelabuhan Papenburg, di mana kapal-kapal pesanan Pelni diproduksi.

Dari acara yang disediakan tuan rumah,dapatlah disimpulkan, pembicaraan yang akan dibahas Presiden selama di Jerman terfokus pada masalah ekonomi dan teknologi. Masalah politik mungkin hanya disinggung sambil lalu saja.

Para pengamat masalah-masalah internasional seperti Juwono Sudarsono dan Imron Rosyadi sama-sama sependapat, perlawatan Presiden itu sungguh tepat waktunya.

Saat ini Masyarakat Eropa sedang bersiap-siap untuk melaksanakan pasar tunggal Eropa, yang kelak betapapun akan membias secara khusus bagi ekspor Indonesia.

Jerman sebagai akses pasar tunggal Eropa yang besar, jelas mempunyai peranan khusus, sehingga meskipun negara ini repot menyelesaikan masalah-masalah internalnya berkenaan dengan bersatunya kedua Jerman setelah berpisah selama 45 tahun, namun Indonesia merasa perlu untuk mengharapkan peranan Jerman lebih besar bagi pembangunan di Indonesia.

Memang, kita tidak dapat memaksa agar Jerman menginves modalnya lebih besar lagi, tetapi setidak-tidaknya negara ini mau dan bisa mengerti bagaimana elan dan etas pembangunan bangsa Indonesia. Bayangkan, nilai investasi Jerman di sini sejak 1967-1989 US$1.839.732.000 meliputi 44 proyek, peringkat 4 sesudah Jepang, Hongkong dan Amerika Serikat. Sejak  tahun 1989 Jerman tak meloloskan proyeknya melalui PMA.

Dalam neraca perdagangan Indonesia-Jerman Barat tahun 1988 defisit di pihak kita; impor Indonesia US$886.6 juta, ekspor hanya US$455.5 juta. Dengan Jerman Timur, kita mengalami surplus; impor US$5 juta, ekspor US$11, 7 juta, sehingga kalaupun neraca perdagangan kedua Jerman tersebut disatukan, akibat bersatunya kedua negara itu, toh kita masih mengalami defisit.

Yang paling penting, seperti dikatakan Imron Rosyadi, kedatangan Presiden di Jerman yang kedua kalinya ini sesudah pada tahun 1972, jelas tidak lagi merintis jalan, tetapi melaksanakan “finishing-touch”. Dus, adalah wajar jika ada kelegaan, bahwa misi yang dilaksanakan Pak Harto kali ini akan lebih sukses dari apa yang pernah dilakukannya 19 tahun lalu.

Siapa pun tahu, Ielah fisik yang dialaminya selama menunaikan ibadah haji, justru akan membawa manfaat tersendiri di Jerman, karena masih melekatnya nikmat Baitullah, sehingga lebih memantapkan program pembangunan bangsa. (SA)

 

 

Sumber : MEDIA lNDONESIA (03/07/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 61-62.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.