LAWATAN KENEGARAAN PRESIDEN SOEHARTO
Jakarta, Suara Karya
PUKUL 12.00 WIB Selasa kemarin, Presiden Soeharto beserta rombongan meninggalkan tanah air untuk melakukan lawatan selama 25 hari ke beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika. Lawatan dalam bentuk: kunjungan kenegaraan serta untuk: menghadiri dua pertemuan tingkat tinggi itu akan dimulai di Meksiko, dan kemudian ke Venezuela. Di Caracas, Venezuela, kunjungan kenegaraan akan dilanjutkan dengan menghadiri KTT Kelompok 15 (G-15) atau KTT Selatan-Selatan kedua (yang pertama di Kuala Lumpur, Malaysia).
Selesai di Caracas, Presiden beserta rombongan akan mengadakan kunjungan kenegaraan ke Zimbabwe dan Tanzania di Afrika. Kemudian ke Senegal yang dilanjutkan dengan menghadiri KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-6 di Dakkar, Senegal. Seusai KTT OKI Presiden beserta rombongan akan kembali ke tanah air dan sampai di Jakarta 14 Desember.
LAWATAN kenegaraan Presiden yang akan berlangsung selama 25 hari serta diisi dengan kehadiran dalam dua KIT itu, mempunyai makna strategis. Baik ditinjau dari posisi negara-negara yang dikunjungi yang merupakan negara-negara berkembang, maupun perkembangan internasional yang mau tidak mau harus dijadikan latar belakang untuk memberi makna kepada kunjungan itu. Termasuk KTT gerakan nonblok (GNB) yang akan berlangsung di Indonesia pada tahun 1992.
Kalau kita perhatikan perkembangan internasional dengan gerakan demokratisasi politik yang melanda dunia sejak akhir dasawarsa 1980-an serta berakhirnya perang dingin yang menyebabkan blok-blok politik dan militer Timur dan Barat tidak lagi mempunyai arti. Tampaknya, perkembangan dunia makin diwamai oleh penonjolan kepentingan-kepentingan ekonomi. Hal inilah yang mendorong bermunculannya konsep -konsep ekonomi regional. Dan, dengan akan lahirnya Pasar Tunggal Eropa pada akhir tahun 1992 proses ke arah konkretisasi regionalisme ekonomi, tampaknya makin nyata.
DENGAN mengambil perkembangan internasional yang disinggung secara sepintas itu sebagai latar belakang ,maka lawatan Presiden Soeharto sekarang ini, menurut hemat kita mengandung makna dengan jangkauan yang diharapkan dapat menanggapi perkembangan internasional inidengan langkah-langkah strategis yang seyogianya dihasilkan oleh KTT Non Blok di Indonesia tahun 1992.
Izinkan kita menggarisbawahi hal inikarena dengan berakhimya perang dingin serta berhasilnya gerakan demokratisasi menumbangkan kekuasaan-kekuasaan otoriter di pelbagai bagian dunia khususnya di Eropa Timur, kehadiran Non Blok
sebagai gerakan politik boleh dikatakan kehilangan arti. Namun, dengan berkembangnya fenomena regiona lisme ekonomi, eksi stensi Non Blok sebagai gerakan akan dapat diberi arti positif bilamana sasarannya tidak lagi demokratisasi politik, melainkan demokratisasi ekonomi.
TERUS terang, mengubah sasaran GNB ke sektor ekonomi bukan pekerjaan ringan karena negara-negara industri maju yang dipimpin oleh Kelompok-7 (Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Kanada) cenderung membagi -bagi dunia menjadi kawasan-kawasan ekonomi regional dengan kerja sama ekonomi internal dan ekstemal yang dikhawatirkan tidak memberi peluang yang cukup luas bagi negara-negara berkembang untuk mempercepat mengejar ketinggalannya dari negara-negara maju.
Mengubah atau menyempumakan keija sama dengan tujuan terciptanya peluang yang fair bagi negara-negara berkembang sehingga dapat menjadi mitra yang saling isi mengisi dengan negara-negara maju itulah seyogianya yang menjadi fokus GNB di masa datang. Bukan dalam posisi yang konfrontatif, tetapi dalam posisi di mana negara maju dan negara berkembang sama-sama menyadari perlu dikembangkannya peranan komplementatif yang tak bisa dielakkan. Dengan latar belakang itulah lawatan kenegaraan Presiden Soeharto mempunyai makna strategis.
Sumber : SUARA KARYA (20/11/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 194195..