MAJELIS ULAMA DIBENTUK UNTUK MENINGKATKAN KERUKUNAN DAN PERSATUAN [1]
Jakarta, Kompas
Untuk lebih meningkatkan kerukunan hidup antar ummat beragama, perlu dibentuk semacam badan konsultasi antar ummat beragama. Badan inilah yang akan membicarakan segala sesuatu bagi kepentingan ummat beragama di Indonesia. Demikian penggarisan Presiden Soeharto ketika membuka musyawarah nasional ke-I Majelis Ulama Seluruh Indonesia di Istana Negara Senin kemarin.
Kepala negara yang untuk kesekian kalinya mengingatkan arti penting kerukunan hidup beragama mengatakan, di kalangan ummat Islam sendiri kini tampak jelas terus bertambah luasnya usaha memperkuat kerukunan dan persatuan itu. Misalnya tampak dari ikhtiar untuk menyatukan pendapat yang berhubungan dengan ibadah yang selama ini berbeda-beda.
“Kerukunan dan persatuan nasional hanya mungkin kita wujudkan apabila kita rukun dan bersatu dalam kelompok kita sendiri serta rukun dan bersatu antara satu kelompok dengan kelompok lain, dalam keluarga besar bangsa Indonesia”.
Ia mengharapkan hendaknya Majelis Ulama yang akan dibentuk melalui Munas ini dapat makin memperkuat usaha tadi. Dan ditunjukkan bahwa ummat Katholik Indonesia sudah berhimpun dalam MAWI (Majelis Wali Gereja Indonesia), ummat Kristen Protestan dalam Dewan-dewan Gereja di Indonesia (DGl), demikian pula ummat Hindu serta aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah membentuk badan-badan penghimpun.
Menurut Presiden, kerukunan hidup antara ummat beragama yang berbeda-beda bukanlah hal baru bagi ummat Islam. Diingatkan bahwa dalam Al Qur’ an terdapat dua ayat yangjelas membuktikan “betapa besar ajaran agama Islam dan betapa lapang dada agama Islam itu”.
Kedua ayat itu adalah yang berbunyi “Tidak ada paksaan dalam agama”, dan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Oleh karena itu, kata Soeharto, pembentukan badan konsultasi antar ummat beragama yang dianjurkannya itu sebenarnya hanya merupakan sarana saja bagi pelaksanaan kerukunan beragama.
Presiden mengemukakan bahwa telah merupakan tekad pembangunan pasti berhasil dan kerukunan hidup dapat diwujudkan. “Maka benar-benar saya harapkan agar kerukunan hidup antar ummat beragama dipelihara, betul-betul dan ditingkatkan. Karena kita semuanya tahu bahwa pembangunan mustahil akan tercapai tanpa adanya kerukunan hidup antara ummat beragama,” katanya.
Fungsi Majelis Ulama
Dalam pembukaan Munas tersebut, hadir para peserta, menteri serta pimpinan lembaga perwakilan rakyat. Kepada para peserta yang datang dari seluruh Indonesia, Presiden mengakui betapa besar peranan para alim-ulama dalam pembangunan masyarakat. Sebab, mereka ini adalah para pemimpin yang berada ditengah masyarakat serta memahami benar2 aspirasi dan jiwa rakyat.
Diingatkan bahwa Nabi Muhammad sendiri, prnah menyatakan “para ulama adalah pewaris para nabi”. Ini berarti tugas para ulama adalah meneruskan tugas para nabi, yang dapat disimpulkan “mengajak masyarakat untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah masyarakat dari perbuatan tidak baik,” atau dalam istilah agamanya disebut “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar”.
Dan mengkaitkan tugas para ulama dengan majelis ulama yang segera dibentuk, Kepala Negara menggariskan beberapa hal, antara lain Majelis ini berfungsi sebagai “penterjemah” yang menyampaikan pikiran dan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional maupun daerah kepada masyarakat.
Selanjutnya memberi bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah, karena pihak Pemerintah seringkali merasa perlu untuk memperolehnya. Peranan majelis lainnya adalah menjadi “penghubung” antara pemerintah dengan para ulama.
Menurut Presiden Soeharto, kepengurusan majelis ini sebaiknya menggambarkan diwakilinya unsur-unsur dati segenap golongan. Sedang para pejabat Pemerintah bertindak sebagai pelindung dan penasehatnya. Dengan kepengurusan seperti itu, antara Pemerintah dengan para ulama akan terdapat “satu bahasa” dalam menggerakkan masyarakat untuk pembangunan.
Kerjasama ini dinilainya amat penting, sebab tak mungkin Pemerintah terdiri yang melaksanakan pembangunan, sementara para alim-ulama juga tak mungkin melakukan tugasnya sebagai ulama, mubaligh, khatib atau da’i dengan baik tanpa kerjasama dengan para pejabat pemerintah.
Tanpa Anggota
Seterusnya Presiden menggariskan pula, bahwa majelis ini cukup mempunyai pengurus saja dan tidak perlu punya anggota. Sehingga tidak menjadi organisasi barn disamping organisasi-organisasi Islam yang telah ada. “Karena yang penting memang bagaimana menghimpun dan mengarahkan kemampuan-kemampuan yang telah ada untuk mempercepat dan memperlancar pembangunan masyarakat; bukan untuk mencari anggota,” demikian Soeharto.
Karena itu majelis ulama juga tidak perlu mendirikan madrasah, masjid atau rumahsakit-rumahsakit sendiri. Sebab hal-hal seperti itu telah ditampung dan dikerjakan oleh organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang agama dan sosial.
Demikian pula dalam bidang politik, majelis ini tidak perlu bergerak dalam bidang tersebut, karena wadah untuk kegiatan itu telah cukup tersedia dalam dua Parpol dan satu Golkar yang telah ada sekarang. Demikian pengarahan Presiden Soeharto.
Materi Musyawarah
Menteri Agama Prof. Mukti Ali dalam laporannya menyatakan, Munas 5 hari ini . akan membahas pedoman dasar dan susunan pengurus Majelis Ulama Pusat, persoalan agama dan ketahanan nasional serta soal agama dalam pembangunan. Pesertanya 150 orang, terdiri utusan daerah dan pusat, termasuk undangan perorangan.
Selama Munas, beberapa pejabat teras pemerintahan akan memberi ceramah, antara-lain Ketua MPR/DPR, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, MenHankam, Menteri P dan K, Menko Ekuin dan Menteri Penerangan. Acara Munas selanjutnya dilangsungkan di Gedung Konvensi Senayan, dan penutupannya tanggal 27 Juli diadakan di TMII. (DTS)
Sumber: KOMPAS (22/07/1975)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 777-779.