SIKAP PAK HARTO TERHADAP BUNG KARNO

SIKAP PAK HARTO TERHADAP BUNG KARNO

 

 

Jakarta, Angkatan Bersenjata

PENCABUTAN kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Ketetapan (TAP)-nya No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal12 Maret 1967. TAP MPRS tersebut mempunyai daya laku surut mulai pada tanggal12 Februari 1967.

Diktum keputusan tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno itu, tercantum pada Pasal 3 TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967 itu, yang berbunyi sebagai berikut “Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno, serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur Undang­ UndangDasar 1945.”

Selanjutnya dalam Pasal 4 diputuskan, mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/ MPRS/ 1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang -Undang Dasar 1945, hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Kiranyajelas, bahwa menurut TAP MPRS No. XXXIII/ MPRS/1967 tersebut, Soekarno resminya masih sebagai Presiden, meskipun boleh dikatakan tanpa mempunyai kekuasaan apa-apa lagi.

Dalam buku otobiografi “Soeharto -Fikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, seperti yang dipaparkan beliau kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, dan yang diterbitkan PT Citra Lamtoro Gung Persada awal tahun 1989 (cetakan pertama), Pak Harto ada j uga mengungkapkan hal-hal yang menyangkut atau sebagai kelanjutan dari pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno itu. Dalam Bab 28, Ke Arah Tangga Bara, Pak Harto memaparkan sebagai berikut Pada permulaan Mei 1967, saya umumkan keputusan perihal perlakuan terhadap Bung Karno.

Beliau tidak lagi diizinkan menggunakan gelar sebagai Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Juga beliau tidak diizinkan menggunakan bende ra kepresidenan. Tetapi beliau masih dibolehkan mengenakan seragamnya dengan segala bintang-bintang dan tanda-tanda pangkatnya apabila menghadiri upacara-upacara kenegaraan, dengan undangan resmi dari pemerintah (hal.199).

SEBAGAIMANA diketahui , pada bulan Mei 1967 itu-bahkan sampai 27 Maret 1968 -Pak Harto masih sebagai Pejabat Presiden. Namun dalam kedudukan sebagai Pj. Presiden itu, Pak Harto masih menginginkan kembalinya Bung Kamo sebagai Presiden. Padahal sejak bulan Mei 1967-kurang lebih 3 bulan sesudah keluamya TAP MPRS No: XXXIII/MFRS/1967 tanggal 12 Maret 1967 Soekarno boleh dikatakan hanya nama saja lagi sebagai Presiden. Terbukti bahwa gelar sebagai Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia, Panglima

Tertinggi Angkatan Bersenjata, tidak diizinkan lagi digunakan oleh Bung Karno, sebagaimana yang dipaparkan Pak Harto dalam buku otobiografinya yang dikutip di atas.

Sehingga nampaknya seolah-olah kontras , kalau dalam keadaan yang sudah sedemikian “parah” nya itu, Bung Karno masih diharapkan oleh Pak Harto (sebagai Presiden) untuk bersedia memimpin negara/pemerintahan kembali . Meskipun ada syaratnya yang harus dipenuhi oleh Bung Karno.

Mengenai hal ini sebagaimana terungkap pada halaman 204, alinea terakhir Bab 28 tersebut Pak Harto memaparkan sebagai berikut Sementara itu saya masih tetap menjabat sebagai Pejabat Presiden. Dalam kesempatan bertemu dengan Bung Karno saya menyampaikan harapan saya. Saya tekankan kepadanya bahwa mumpung saya masih sebagai Pejabat Presiden, saya mengharapkan Bung Karno masih akan bersedia memimpin negara ini dengan syarat seperti yang sudah dimakluminya, yaitu, menyetujui pembubaran PKI itu dengan jalan mengutuk G-30-S. Tetapi beliau kukuh pada pendiriannya (huruf-huruftebal dari Oe.D).

Seperti diketahui, PKI beserta segenap organisasi yang berada dibawah naungannya, karena terbukti mendalangi apa yang disebut “Gerakan 30 September” (G-30-S) 1965, sejak tanggal 12 Maret 1966 sudah dinyatakan terlarang di seluruh Indonesia. Pelarangan (pembubaran) tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 113/1966 yang ditandatangani atas nama Presiden oleh Letjen (waktu itu) Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat,-dengan ber”senjata”kan Surat Perintah (Presiden Soekamo) tanggal11 Maret sehari seb elumnya, yang kemudian terkenal dengan sebutan kesingkatann ya, “Super Semar”.

Jadi apa yang diharapkan Pj. Presiden Soeharto pada waktu itu kepada Bung Karno sebagai syarat untuk mengembalikannya kepada kedudukan semula -yakni sebagai Presiden/Kepala Negara dengan segala kewenangan yang melekatinya hanyalah sekedar menyetujui pembubaran PKI, yang notabene sudah dilaksanakan dengan Keputusan Presiden No. 1/311966 tanggal 12 Maret 1966 itu.

NAMUN bagi Bung Karno, syarat yang dimajukan pak Harto (sebagai Pj. Presiden) itu, sangat bertolak belakang dengan keyakinan politiknya, yang dipegangnya teguh sejak masih muda, sewaktu memimpin pergerakan rakyat menuntut Kemerdekaan Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Yakni mutlak hams tergalangnya persatu­paduan Nasionalisme-Agama-Komunisme,-yang kemudian oleh Bung Karno dipopulerkan dengan istilah Nasakom.

Dalam hubungan ini, pada Bab 22 “Mikul Dhuwur Mendhem Jero” buku “Soeharto… “tersebut, beliau memaparkan: “Pada kesempatan berdialog lainnya, Bung Karno menegaskan: “Har, (panggilan untuk pak Harto, -Oe.D), saya ini sudah diakui sebagai pemimpin dunia, konsep Nasakom sudah sayajual kepada bangsa-bangsa di dunia ini. Sekarang saya hams membubarkan PKI, di mana Har, saya harus menyembunyikan muka saya.”

Tidak dijelaskan, kapan (tanggal-bulan-tahun berapa) terjadinya dialog yang dimaksud dalam kutipan di atas. Namun kiranya dapat diperkirakan (untuk tidak mengatakan: dipastikan) terjadinya antara sesudah terjadinya pemberontakan PKI dengan G-30-S-nya yang terklltuk itu sampai sebelum 11 Maret 1966,-hari diterbitkannya Super Semar.

Dari dialog tersebut -dalam hal ini, apa yang ditegaskan Bung Karno di depan Pak Harto-terungkap bahwa Bung Karno sudah menganggap dirinya tidak hanya sebagai pemimpin Indonesia, maupun Asia, bahkan Asia-Afrika,-melainkan sebagai pemimpin dunia!

Kembali kepada apa yang diharapkan Pak Harto kepada Bung Kamo supaya bersedia memegang kembali pimpinan negara/pemerintahan, tetapi dengan syarat yang tidak mungkin diterimanya, karena konsep Nasakom-nya yang sudah “mendarah-daging” dan yang katanya “sudah dijual kepada bangsa-bangsa di dunia” itu.

Hal ini sebagai menunjukkan betapa masih besamya penghargaan Pak Harto kepada Bung Karno .Padahal pada waktu itu sudah terdapat berbagai petunjuk bahwa Bung Karno setidaknya mengetahui rencana PKI untuk mengadakan, pemberontakan. (Meskipun Bung Karno sendiri sebagaimana berkali-kali ditegaskan oleh Pak Harto dalam buku otobiografinya tersebut bukan PKI). Besarnya penghargaan tersebut tentunya karena mengingat betapa besarnya pengorbanan Bung Karno dalam memimpin perjuangan kemerdekaan pada masa penjajahan Belanda, dan terutama-bahwa Bung Karno (bersama Bung Hatta) adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, menunjukkan juga, betapa sangat besarnya pengaruh atau kewibawaan Pak Harto pada waktu itu (bahkan sampai sekarang). Sebab, meskipun beliau hanya sebagai Pejabat Presiden, Pak Harto rupanya yakin dapat mengusahakan kembalinya Soekarno kepada kedudukannya semula sebagai Presiden dengan kewenangan seperti yang ditetapkan dalam UUD 1945 (sebab pada waktu itu Bung Karno hanya nama saja sebagai Presiden), -asal saja syarat yang dimajukan (menyetujui pembubaran PKI) dipenuhinya.

Sebab, bukankah untuk memilih Presiden (dan Wakil Presiden) adalah wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun sampai berlangsungnya pemilihan umum pada tahun 1971 yang masih bersifat sementara?. (SA)

 

 

Sumber : ANGKATAN BERSENJATA (10/09/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 189-194.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.