Presiden Soeharto : SAHAM UNTUK KOPERASI TUMBUHKAN KESELARASAN
Tasikmalaya, Kompas
Pemberian saham kepada KUD dan koperasi primer yang berada di sekitar perusahaan akan menumbuhkan ketenangan usaha dan keselarasan sosial. Pemberian kesempatan memiliki saham kepada koperasi-koperasi primer yang mempunyai keterikatan usaha akan menambah kuatnya j aringan usaha yang luas.
Presiden Soeharto menegaskan hal itu pada peringatan Hari Pertasi Kencana (Hari Koperasi Ke-43, Hari Krida Pertanian Ke-18 dan Hari Gerakan KB Nasional Ke-20), Kamis kemarin di Tasikmalaya, Jabar.
Dalam upacara yang dipusatkan di lapangan olahraga Dadaha itu Presiden selain didampingi Menkop, Mentan dan Kepala BKKBN Pusat, juga didampingi sejumlah menteri lain antaranya Menpen Harmoko, Menteri KLH Emil Salim dan Menkes Adhyatma, serta sejumlah pejabat tinggi negara.
Menurut Presiden,pembangunan koperasi telah mulai kita letakkan dasar-dasarnya yang kuat dengan pemilikan saham oleh koperasi di perusahaan-perusahaan yang akhir-akhir ini kita rintis bersama.
Pemberian kesempatan memiliki saham perusahaan hendaknya tidak terbatas hanya pada koperasi karyawan perusahaan yang bersangkutan. Tetapi juga meliputi KUD dan koperasi-koperasi primer lainnya yang berada di sekitar perusahaan serta koperasi yang mempunyai keterkaitan usaha.
Rp. 54,4 Milyar
Dalam kaitan ini Kepala BKKBN Pusat Haryono Suyono atas nama ketiga instansi Pertasi Kencana melaporkan, saat ini telah menerima kesediaan penyerahan saham dari pengusaha kuat. Yaitu pertama dari PT Teh Nusamba Indah kepada koperasi senilai Rp 4,5 milyar, 24 Maret 1990. Kedua, 69 pengusaha di antaranya terdapat 7 pengusaha PMA yang tergabung dalam grup Masyarakat Perkayuan Indonesia dengan nilai nominal Rp. 23,6 milyar lebih yang disampaikan langsung kepada Presiden 30 Juni lalu.
Ketiga, dari 27 pengusaha yang tergabung dalam grup Prasetya Mulya dengan nilai nominal Rp 29,3 milyar lebih. Kesediaannya disampaikan melalui surat kepada Menko Ekuin 4 Juli lalu. Keseluruhan nilai sahan tersebut menjadi Rp. 54,4 milyar lebih.
Sementara itu Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia Sri Edi Swasono menjelaskan, demokrasi ekonomi merupakan hak karyawan, hak petani pemasok bahan dan hak para penyalur dan konsumen perusahaan. Mereka ikut memajukan perusahaan dan mereka masingĀ masing berhimpun dalam koperasi. Jadi benar seperti telah ditegaskan oleh Kepala Negara bahwa pemilikan saham oleh karyawan bukan suatu belas kasihan. Tetapi hak demokrasi ekonomi.
Mereka adalah partisipan-partisipan pembangunan perusahaan dan mitra usaha yang setia. Jadi memang sewajamya mereka memperoleh saham perusahaan, ikut menikmati agio dan capital gain perusahaan.
Oleh karena itu program go public jika ingin berfungsi pula sebagai pemerataan ,koperasi karyawan dan koperasi terkait hams diutamakan dengan harga saham preferensi.
Usaha Tani
Menyinggung keberhasilan bidang pertanian seperti swasembada beras, peningkatan produksi perkebunan, peternakan dan perikanan, Kepala Negara menyatakan, keberhasilan itu dapat kita capai antara lain berkat keberhasilan menerapkan teknologi tepat guna. Keberhasilan-keberhasilan tadi harus kita pertahankan dan kita tingkatkan agar pembangunan kita benar-benar dapat memasuki proses tinggal landas pada pembangunan jangka panjang 25 tahun kedua.
“Untuk itu saya minta agar para petani terus meningkatkan usaha tani,” tegas Presiden. Pengalaman dan keberhasilan yang kita capai di sektor pertanian juga akan kita bagi dengan petani bangsa lain dalam rangka kerjasama antar negara-negara berkembang. Hal itu merupakan wujud nyata dari tekad kita untuk membangun dunia yang lebih makmur dan lebih sejahtera.
Untuk itu para petani kita, lanjut Presiden, perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya guna membagi pengalaman dengan para petani dan ahli-ahli pertanian dari negara-negara lain yang akan datang kemari. Semua ini merupakan tekad kita untuk melaksanakan salah satu hasil KTT Kelompok 15 yang berlangsung di Kuala Lumpur bulan lalu.
Lebih Dahsyat
Pada peringatan Pertasi Kencana di Tasikmalaya itu sekaligus diarahkan untuk merangsang tumbuhnya gerakan KB Mandiri di seluruh Indonesia. Hal itu ditandai dengan peresmian gerakan KB Mandiri di semua kota di Indonesia serta di desa-desa yang dipandang sudah mampu. Pada kesempatan itu Kepala Negara menyerahkan obat KB Lingkaran Biru kepada koperasi serta menandatangani spanduk KB yang terpanjang di seluruh dunia, 5.000 meter.
Upaya meningkatkan mutu gerakan KB ,menurut Haryono Suyono, masih harus berlangsung agak lama. Karena makin cepatnya tambahan pasangan usia subur muda sebagai akibat ledakan bayi sekitar tahun 60-70an yang sekarang menginjak usia dewasa, menyebabkan setiap tahunnya diperlukan tidak kurang dari 3,5 juta sampai 4 juta peserta KB untuk sekadar bertahan pada posisi yang sama dewasa ini. “Apabila kita lengah, maka ledakan penduduk baru yang lebih dahsyat masih mengancam kita semuanya,”ujarnya.
Dalam rangkaian usaha terpadu, tambahnya, para akseptor KB bersama petani dan nelayan yang tergabung dalam 350.000-400.000 kelompok sedang mengembangkan diri menjadi kelompok ekonomis produktif dalam bentuk kegiatan usaha peningkatan pendapatan keluarga akseptor (UP-PKA). Kelompok itu diharapkan dapat menjadi unit usaha mandiri dari KUD atau menjadi tempat pelayanan koperasi KUD yang siap mendistribu si alat KB. Sampai saat ini kelompok UPPKA yang ada sekitar 22.000 dengan jumlah anggota sekitar 1,5 juta pasangan, dan modal yang beredar sekitar Rp 6,3 milyar.
Peringatan Pertasi Kencana sengaja dipusatkan di Tasikmalaya, sebab daerah ini merupakan salah satu pusat kegiatan industri kecil di Jabar. Pemusatan ini juga sekaligus untuk mengenang peristiwa penting yang terjadi pada 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, yakni diselenggarakannya Kongres Koperasi Pertama yang merupakan goresan sejarah penting dalam sejarah perjalanan koperasi di Indonesia.
Pada kesempatan itu Presiden memberikan penghargaan satya lencana pembangunan di bidang KB dan koperasi kepada 10 gubernur dan 1 wakil gubernur serta 17 bupati dan wali kota.
Impor Kedelai
Pada temu wicara dengan kelompok tani koperasi dan KB. Kepala Negara mengingatkan bahwa tahun ini kita masih hams mengimpor 600.000 ton kedelai untuk kebutuhan dalam negeri. Ini berarti pasamya ada, sehingga kebutuhan itu sebenamya bisa diproduksi sendiri, tak perlu impor. Bila harganya Rp 400/kg, 600.000 ton kedelai nilainya mencapai Rp 240 milyar. Jumlah ini bisa menjadi milik petani, karena lahan untuk menanamnya ada. Namun diakui bahwa kemampuan petani masih kurang, antara lain dalam penyediaan bibit.
Untuk mengatasi masalah itu, menumt Kepala Negara, harus ditingkatkan usaha bersama di dalam wadah koperasi. Koperasi kemudian harus bekerja sama dengan swasta untuk membantu petani meraih dan menikmati sumber pasaran yang Rp 240 milyar tadi. Dalam hal ini petani tidak perlu mengeluarkan modal dan pengusaha pun, tidak akan mgi karena modalnya akan kembali.
Di samping itu masih ada keuntungan lain, yaitu harga pembelian pemerintah Rp 425 per kg dan harga di pasaran untuk produksi tempe-tahu Rp 750- Rp 800/kg. Kelebihan yang Rp 300 itu merupakan bagian para pengusaha untuk memperoleh keuntungan. “Jadi dua-duanya akan untung,” tegas Presiden.
Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan petani sudah diputuskan kita hams mengimpor gula kurang lebih 400.000 ton. Harganya 360-400 dollar AS per ton yang keseluruhannya bemilai 160 juta dollar AS. Nilai tersebut berarti bisa digunakan untuk membangun satu pabrik sendiri.
Untuk mencukupi kebutuhan gula sebenarnya bisa dilakukan dengan meningkatkan produksi gula kelapa dan gula nipah yang areanya luas sekali, mencapai jutaan hektar . Satu hektar bisa menghasilkan 5 ton gula nipah, harganya Rp 1.000/kg, bahkan kalau diekspor Rp 2.000/kg.
Menjawab pertanyaan petani , Presiden mengemukakan bahwa harga dasar untuk berbagai komoditi sudah lama ditetapkan pemerintah. Termasuk harga dasar cengkeh yang dimaksudkan untuk melindungi petani dengan harga Rp 6.500/kg. Tapi nyatanya akhir-akhir iniharganya tumn sampai Rp 3.000/kg, sangat memgikan petani. Padahal untuk menghitung biaya produksi, pabrik rokok menetapkan harga cengkeh Rp 10.000-Rp 12.500/kg. (SA)
Sumber :KOMPAS (13/0711990)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 296-301.